Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah secara resmi melarang penjualan produk tembakau secara satuan per batang atau eceran. Hal ini termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan atau UU Kesehatan. Meski bertujuan baik, larangan penjualan rokok eceran dinilai terlambat.

Sejak diterbitkannya PP Nomor 28 Tahun 2024, beberapa pasal di dalamnya menuai reaksi keras dari masyarakat. Salah satunya adalah yang mengatur larangan menjual rokok secara eceran satuan per batang yang tertuang di Pasal 434.

Pasal yang sama juga terdapat larangan menjual produk tembakau dan rokok elektronik dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

Pedagang kelontong diprediksi menjadi pihak yang paling terdampak, namun larangan ini juga sebenarnya terlambat diterapkan.

Ancam Pedagang Kelontong

Selama ini, penjualan rokok secara eceran termasuk paling laris di pedagang kelontong. Karena itulah ketika PP ini diteken Presiden Jokowi, pedagang kelontong termasuk yang paling keberatan.

Hal ini disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (Aparsi) Suhendro, yang menyatakan penerbitan PP Kesehatan itu akan mengancam keberlangsungan hidup sembilan juta pedagang di pasar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia.

Aturan yang menjadi sorotan Aparsi adalah larangan menjual rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain serta larangan menjual rokok secara eceran. Menurut Suhendro aturan ini rancu untuk diberlakukan.

"Kami menolak keras dua larangan ini karena beberapa faktor. Salah satunya karena banyak pasar yang berdekatan dengan sekolah, institusi pendidikan atau fasilitas bermain anak. Peraturan ini juga dapat menurunkan omzet pedagang pasar yang banyak berasal dari penjualan produk tembakau. Hal ini akan menimbulkan permasalahan baru bagi kami sebagai pelaku usaha," ungkapnya.

Rokok ilegal hasil pengungkapan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Kudus, Jawa Tengah. (ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif)

Senada, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah juga menyebut, larangan menjual rokok eceran hanya membuat pedagang kecil menjadi korban.

Selain itu Trubus juga mempertanyakan bagaimana pemerintah mengendalikan kebijakan larangan menjual rokok eceran tersebut, karena hal itu sudah berlangsung sejak lama.

"Secara implementasi kurang efektif karena siapa yang mau mengawasi adanya kebijakan larangan ini, selama ini masyarakat sudah terbiasa, dan para pedagang juga mendapatkan keuntungan yang cukup banyak dari penjualan tersebut," ujar Trubus kepada VOI.

Sudah Lama Diwacanakan

Wacana melarang penjualan rokok eceran atau batarangan sebenarnya sudah terdengar sejak 2022. Menurunkan prevelansi perokok anak dan remaja menjadi alasan di balik rencana ini.

Jumlah perkokok di usia 10-18 tahun terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2019, jumlah perokok di rentang usia tersebut mencapai 10,70 persen dan diperkirakan menyentuh angka 16 persen pada 2030.

Ketika wacana ini mengemuka dua tahun silam, Project Lead Tobacco Control dari lembaga kajian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Iman Zein, megatakan kebijakan ini terlambat.

Pemerintah mengeluarkan larangan penjualan rokok eceran dan menjual rokok di radius 200 meter dari sekolah atau taman bermain anak. (Antara)

Iman menjelaskan seharusnya aturan ini diterapkan jauh sebelum prevalensi perokok anak dan remaja di Indonesia belum terlalu jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RP JMN) 2020-2024, yaitu 8,7 persen.

Andai aturan larangan menjual rokok eceran diberlakukan lebih cepat, angka tersebut mungkin masih bisa dikejar.

“Data (prevalensi perokok muda) tahun 2022 sudah meningkat lebih dulu sepertinya, sebelum aturan ini diimplementasikan. Jadi kalau terlambat ya, terlambat sekali,” ujar Iman Zein pada 28 Desember 2022.

Perokok Anak Usia Sekolah Meningkat

Mengutip laman Kemenkes, anak dan remaja termasuk kelompok dengan peningkatan jumlah perokok yang paling signifikan. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019 menunjukkan prevalensi perokok pada anak usia sekolah 13-15 tahun naik dari 18,3 persen (2016) menjadi 19,2 persen (2019).

Sementara itu, data survei kesehatan Indonesia (SKI) 2023 juga menunjukkan kelompok perokok terbanyak ada di rentang usia 15-19 tahun, yaitu 36,5 persen. Di urutan selanjutnya kelompok usia 10-14 tahun sebanyak 18,4 persen.

Sebelumnya, Kemenkes juga menyatakan penjualan rokok terus meningkat, berbarengan dengan jumlah konsumsi rokok, perokok anak, dan kematian akibat rokok.

Pada 2021 penjualan rokok meningkat 4,2 persen dari 2020 atau dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang dengan 70,2 juta orang dewasa diketahui merokok.

Selain itu, penggunaan rokok elektronik juga naik 10 kali lipat dari 0,3 persen di tahun 2011 menjadi 3 persen pada 2021.

Angka kematian karena 33 penyakit yang berkaitan dengan perilaku merokok mencapai 230.862 pada 2015 dan menyebabkan kerugian sebanyak Rp596,61 triliun. Tembakau juga diklaim membunuh 290.000 orang setiap tahunnya di Indonesia dan menjadi penyebab kematian terbesar akibat penyakit tidak menular.