JAKARTA – Kepeminpinan Presiden Joko Widodo yang hanya tinggal hitungan bulan kembali dihujani kritik. Ini lantaran Jokowi melalui Peraturan Pemerintah (PP) mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja.
PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2923 tentang Kesehatan yang baru diterbitkan pemerintah mencakup beberapa program kesehatan termasuk sistem reproduksi.
Namun PP itu menjadi polemik karena antara lain mengatur mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi anak sekolah dan remaja. Pasal 103 ayat (1) PP itu menyebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi. Yang menjadi polemik terlihat di Ayat (4) butir “e” yaitu penyediaan alat kontrasepsi.
Alat kontrasepsi memang dapat melindungi diri dari berbagai risiko akibat hubungan seksual. Tapi peraturan ini bisa diartikan sebagai persetujuan hubungan di luar nikah atau bahkan seks bebas.
Berpotensi Disalahartikan
Mengenai penggunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya pada usia sekolah dan remaja menjadi perbincangan warganet. Responnya pun beragam.
Publik sebagian besar kontra dengan peraturan ini, karena tidak sesuai dengan norma-norma agama yang melarang seks di luar nikah. Tapi ada pula yang menganggap penyediaan alat kontrasepsi memiliki tujuan positif yaitu untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan dan mencegah penyakit menulai seksual.
Mereka yang kontra dengan penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja diwakili Netty Prasetiyani, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Komisi XI yang membidangi kesehatan dan kependudukan.
Netty berujar PP yang ditandatangani pada 27 Juli dapat menimbulkan anggapan pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja.
“Aneh kalau anak usia sekolah dan remaja mau dibekali alat kontrasepsi. Apakah dimaksudkan untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan?” ujar anggota Partai Keadilan Sejahtera itu pada Minggu (04/08).
Netty juga menyoroti kalimat perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab” di usia anak sekolah dan remaja dalam PP Kesehatan.
Menurutnya, pemerintah memiliki utang penjelasan tentang maksud dan tujuan dari kalimat tersebut, karena bisa saja diartikan sebagai pembolehan seks sebelum nikah asal bertanggung jawab.
“Harus ada kejelasan soal edukasi seputar hubungan seksual yang mana tidak boleh terlepas dari nilai-nilai agama dan budaya yang dianut bangsa,” tegas Netty.
Perzinaan Meningkat
Beberapa waktu lalu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut generasi muda Indonesia semakin banyak yang menunda menikah. Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan angka pernikahan mengalami penurunan signifikan pada 2023, yang mencapai rekor terendah dalam satu dekade terakhir dengan hanya 1,58 juta pernikahan. Bandingkan dengan tahun 2013, ketika angka pernikahan mencapai 2,21 juta.
Berdasarkan laporan kinerja Kedeputian Keluarga Sejahtera dan Pembangunan Keluarga (KSPK) BKKBN, median usia kawin pertama perempuan juga mengalami kemunduran dalam rentang waktu tahun 2020 hingga 2023. Sebagian perempuan memilih menikah untuk pertama kali di usia 22,3 tahun pada 2023, padahal selama tiga tahun terakhir usia menikah perempuan rata-rata 20-21 tahun.
Tapi di sisi lain, BKKBN juga menyoroti rata-rata umur melakukan hubungan seks pertama kali pada remaja 15-19 tahun justru meningkat. Persentase perempuan berusia 15-19 tahun yang telah melakukan hubungan seksual tercatat 59 persen, sedangkan laki-laki 74 persen.
"Jadi bisa kita lihat ya, menikahnya rata-rata 22 tahun, tetapi hubungan seksnya 15-19 tahun, jadi perzinaan kita meningkat, ini pekerjaan rumah untuk kita semua, karena kalau pengetahuannya belum banyak bisa bahaya, kalau kawin terlalu muda, kanker mulut rahimnya berisiko tinggi," kata Hasto pada Maret lalu.
Terkait pemberian alat kontrasepsi yang ramai dibahas sekarang, Hasto menegaskan pihaknya selama ini hanya menyasar pasangan suami istri atau yang oleh BKKBN dirujuk sebagai pasangan usia subur.
Sedangkan untuk usia sekolah dan remaja, yang dilakukan selama ini adalah pemberian edukasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi, bukan pemberian alat kontrasepsi.
“(Edukasi maksudnya) bukan mengajari tentang hubungan seks [melainkan] bagaimana cara merawat dan melindungi kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan,” ujar Hasto.
Ia tidak tidak menampik bahwa penyediaan alat kontrasepsi untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan dalam hubungan seksi di luar nikah. Tapi, Hasto juga tetap menekankan perlunya mengingat norma agama di Indonesia.
“Memang itu logikanya, tapi kan logika yang masih sangat murni dalam artian belum sesuai dengan kaidah-kaidah agama,” ucapnya.
BACA JUGA:
Indonesia adalah negara yang menganut budaya ketimuran dan menjunjung tinggi norma agama. Wajar jika kemudian kemunculan PP yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja dianggap sebagai bentuk melegalkan seks bebas, utamanya di kalangan remaja.
Padahal jika tujuannya sebagai upaya kesehatan sistem reproduksi, maka cara yang seharusnya dikedepankan adalah tidak lagi tabu membicarakan masalah seks maupun kesehatan reproduksi sejak dini, bukan malah menyodorkan penggunaan alat kontrasepsi.