JAKARTA – Polemik penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja masih menjadi perhatian. Peraturan pemerintah tersebut dinilai rancu dan berpotensi disalahartikan sebagai membolehkan tindakan seks bebas kepada pelajar.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
Namun pasal penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja dalam PP tersebut menimbulkan huru-hara. Tepatnya, di pasal 103, khususnya Ayat (4) butir “e” yaitu penyediaan alat kontrasepsi.
Tidak Ada Kejelasan Usia
Mengutip laman Kementerian Kesehatan, Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril menjelaskan edukasi terkait kesehatan reproduksi termasuk juga penggunaan kontrasepsi.
“Namun penyediaan alat kontrasepsi tidak ditujukan untuk semua remaja, melainkan hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan ketika calon ibu belum siap karena masalah ekonomi atau kesehatan,” kata Syahril di Jakarta (5/8).
“Jadi, penyediaan alat kontrasepsi itu hanya diberikan kepada remaja yang sudah menikah untuk dapat menunda kehamilan hingga umur yang aman untuk hamil,” katanya.
Ia menambahkan, pernikahan dini akan meningkatkan risiko kematian ibu dan anak. Risiko anak yang dilahirkan akan menjadi stunting juga sangat tinggi.
Yang jadi masalah, publik dibuat bingung tentang ‘usia sekolah dan remaja’ sebagaimana tertuang dalam PP tentang Kesehatan tersebut. Tidak ada kepastian angka berapakah usia yang dimaksud.
Rentang usia remaja juga memiliki pandangan berbeda-beda menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Kemenkes, dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN).
Secara umum, remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun.
Tapi jika pada usia remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong dewasa. Sebaliknya, jika usia sudah bukan lagi remaja tapi masih tergantung pada orangtua atau tidak mandiri, maka dimasukkan ke dalam kelompok remaja.
Sedangkan menurut peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 Tahun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun. Terakhir, BKKBN memasukkan usia 10-24 tahun sebagai kelompok remaja.
Rawan Disalahartikan
Aturan soal alat kontrasepsi dalam PP Nomor 28 tahun 2024 tersebut rawan disalahartikan, karena di pasal 103 tidak tertulis secara detail mengenai pelajar yang diberikan edukasi.
“Saya kira perlu ada penjelasan dan edukasi yang clear, karena bunyi pasal yang sekarang bisa membuat salah tafsir,” tutur Anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina.
Batasan usia remaja yang ambigu mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja tidak terjadi pada batas larangan usia perokok di Indonesia pada PP yang sama.
Saat ini larangan penjualan rokok diterapkan bagi mereka yang berusia di bawah 21 tahun, dari sebelumnya hanya di bawah 18 tahun.
"Setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik: kepada di bawah 21 tahun dan perempuan hamil," demikian bunyi Pasal 434 Ayat (1) huruf b.
Demikian pula dengan usia legal minum alkohol di Indonesia. Salah satu aturan mengenai minuman alkohol, yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-Dag/Per/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Merujuk pada peraturan ini, terdapat Batasan usia minimum yang dibolehkan untuk mengonsumsi minuman beralkohol, yaitu 21 tahun.
Darurat Pornografi dan Kekerasan Seksual pada Anak
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji ikut mengomentari PP Nomor 28 tahun 2024 tersebut. Menurut pandangan Ubaid, pemerintah harus mendengarkan suara masyarakat, karena ini jelas menyangkut hajat hidup mereka.
Ia menganggap peraturan ini sangat tidak partisipatif dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembahasannya.
“Daripada kontradiktif dengan tatanan sosial di sekolah dan juga merusak moralitas anak-anak, sebaiknya aturan ini dicabut dan didiskusikan kembali dengan melibatkan partisipasi yang lebih luas,” kata Ubaid kepada VOI.
Indonesia sendiri saat ini tengah menghadapi kondisi darurat pornografi dan kekerasan seksual terhadap anak.
Menurut data National Centre for Missing Exploited Children (NCMEC), kasus konten pornografi pada anak di Indonesia merupakan yang terbanyak keempat di dunia, dan peringkat dua skala Asia Tenggara.
“Di tengah situasi yang semacam ini, mestinya pemerintah perlu memperkuat pendidikan seksual dan juga pengembangan penyuluhan kesehatan reproduksi pada anak di sekolah, daripada penyediaan alat kontrasepsi,” tutur Ubaid.
Untuk itu, JPPI mendesak agar pemerintah mencabut PP Nomor 28 tahun 2024 karena mengancam masa depan anak-anak Indonesia. Ubaid juga menegaskan pihaknya menolak alat kontrasepsi pada anak di sekolah, karena yang dibutuhkan adalah edukasi pendidikan kesehatan reproduksi.
Penyediaan alat kontrasepsi yang salah tempat berakibat pada banyaknya kasus penyalahgunaan alat kontrasepsi pada anak, yang berujung pada jebakan kasus kekerasan pada anak.
BACA JUGA:
Anak usia sekolah harus fokus pada proses pendidikan reproduksi di sekolah, bukan malah melakukan kegiatan aktif penggunaan alat kontrasepsi. Sebab, anak usia sekolah, belum dianggap sah untuk memberikan persetujuan seksual (age of consent).
“Ini harus digarisbawahi, age of consent harus mengikuti usia sah menikah berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia yaitu 19 tahun. Jadi, penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah harus ditolak karena lebih banyak mengundang bahaya, bahkan tidak ada manfaatnya,” pungkas Ubaid.