Bagikan:

JAKARTA - DPR mengkritik aturan penyediaan alat kontrasepsi untuk siswa dan remaja yang baru saja dikeluarkan Pemerintah. Komisi IX DPR meminta Pemerintah meninjau ulang aturan tersebut.

Adapun aturan tentang penyediaan alat kontrasepsi untuk siswa dan remaja tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan di mana isi beleid itu terkait dengan upaya sistem reproduksi sesuai siklus. Aturan ini dikhawatirkan akan memberi dampak kesehatan jangka panjang, sekaligus berpotensi membuat remaja masuk ke pergaulan bebas.

"Hati-hati, jika gagal pengawasan justru jadi racun perusak anak-anak! Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini diimbangi dengan pendidikan seksual yang holistik dan pendekatan yang sensitif terhadap nilai-nilai masyarakat karena bisa jadi boomerang bagi anak muda Indonesia,” ujar Anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina, Selasa 6 Agustus.

Arzeti menjelaskan kekhawatiran atas PP nomor 28 tersebut sangat berdasar sebab dalam pasal 103 yang mengatur soal alat kontrasepsi tersebut tidak tertulis secara detail mengenai pelajar yang diberikan edukasi, sehingga rawan disalahartikan.

“Saya kira perlu ada penjelasan dan edukasi yang clear, karena bunyi pasal yang sekarang bisa membuat salah tafsir,” tuturnya.

Pada Pasal 101 Ayat (1) PP 28/2024 diatur bahwa upaya sistem reproduksi sesuai siklus hidup meliputi kesehatan sistem repoduksi bayi, balita, dan anak prasekolah; kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja; kesehatan sistem reproduksi dewasa; kesehatan sistem reproduksi calon pengantin; dan kesehatan sistem reproduksi lanjut usia.

Secara lebih khusus aturan tentang Upaya Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja diatur dalam Pasal 103. Menariknya pada Pasal 103 Ayat (4) disebutkan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi usia sekolah dan remaja salah satunya meliputi penyediaan alat kontrasepsi.

Bunyi aturan tersebut adalah sebagai berikut: Pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) paling sedikit meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining, b. pengobatan, c. rehabilitasi, d. konseling, e. penyediaan alat kontrasepsi’.

Arzeti pun menilai aturan itu tidak sejalan dengan norma-norma di Indonesia. Apalagi bagi anak-anak usia remaja yang seharusnya tidak boleh melakukan hubungan seksual karena akan berpengaruh terhadap kesehatannya.

“Jangan sampai aturan ini malah menjadi dasar anak-anak muda melakukan seksual di luar pernikahan. Selain secara norma dilarang, dampak kesehatannya juga sangat berpengaruh," jelas Arzeti.

Badan Riset Inovasi Nasional melakukan penelitian tentang Remaja dan Kesehatan Reproduksi di mana dalam penelitian itu ditemukan adanya dampak kesehatan yang akan diterima oleh remaja jika melakukan hubungan seksual pada usia dini. Adapun dampak kesehatannya seperti pendarahan, Postpartum, dan gangguan mental seperti depresi.

Data dari WHO pada tahun 2021 juga menunjukan remaja yang melakukan hubungan seksual di usia dini menghadapi risiko komplikasi dan kematian yang lebih tinggi akibat kehamilan. Penggunaan alat kontrasepsi, menurut Arzeti, juga tidak menjamin akan mencegah terjadinya kehamilan dan berbagai penyakit.

"Melihat dampak kesehatan yang akan diterima remaja, Pemerintah seharusnya lebih bisa menimbang dampak dari aturan yang dikeluarkan. Apakah lebih banyak dampak positifnya daripada negatifnya?” ucap Legislator dari Dapil Jawa Timur I ini.

Lebih lanjut, Arzeti menilai masalah kesehatan reproduksi menjadi isu tambahan yang mungkin saja terjadi akibat implementasi aturan itu. Sebab aturan dan penyediaan alat kontrasepsi saja tidak cukup untuk mengatasi tantangan kesehatan reproduksi remaja, tapi perlu banyak faktor lain lagi yang harus dilakukan.

"Untuk memastikan efektivitas kebijakan ini, harus ada pendekatan yang holistik dan komprehensif yang mencakup pendidikan seksual yang berkualitas, konseling, dan dukungan emosional," sebut Arzeti.

Anggota Komisi IX DPR yang membidangi urusan kesehatan ini juga mengingatkan bahwa anak usia remaja belum memiliki stabilitas emosional yang baik sehingga perlu adanya pendampingan dan edukasi mengenai alat kontrasepsi. Arzeti khawatir akses alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja dapat disalahgunakan.

“Belum lagi dampak sosial yang akan terjadi. Orang tua anak-anak pasti juga akan sulit menerima kebijakan ini karena seolah-olah melegalkan hubungan seksual bagi remaja,” tegasnya.

Berdasarkan data dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) di tahun 2024, terdapat 17,95 Juta Remaja Indonesia yang didiagnosis menderita gangguan mental. Hal ini dinilai seharusnya menjadi pertimbangan saat membuat sebuah aturan.

“Ada kemungkinan bahwa alat kontrasepsi yang disediakan tidak digunakan sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan atau disalahgunakan oleh individu yang tidak cukup matang secara emosional untuk mengelola tanggung jawab tersebut," papar Arzeti.

“Pada akhirnya akan muncul juga dampak kesehatan lainnya, khususnya dalam hal psikologis anak. Mereka bisa trauma, depresi, dan mengalami gangguan mental lain,” sambungnya.

Sekali lagi Arzeti menekankan kepada Pemerintah untuk segera memberikan penjelasan yang detail dan komperhensif kepada masyarakat terkait aturan tersebut. Jangan sampai menimbulkan keresahan di tengah masyarakat karena pemerintah seakan-akan mempersilakan perilaku seks prematur.

"Kami harapkan Pemerintah bisa menjelaskan apa maksudnya aturan tersebut. Seberapa besar manfaatnya, yang harus ditunjukkan lewat riset mendalam. Jangan jadi malah jadi seperti membenarkan seks prematur," pungkas Arzeti.