Bagikan:

JAKARTA – Perhimpunan Pendidikan Guru (P2G) menyatakan tidak alergi terhadap perubahan kurikulum, seperti yang terjadi sekarang ini dengan Kurikulum Merdeka. Namun P2G tidak menampik konsep kurikulum teranyar ini belum bisa diimplementasikan secara maksimal.

Belum lama tahun ajaran baru 2024/2025 berjalan, masyarakat ramai-ramai membahas penghapusan sistem penjurusan di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Artinya, kini tidak ada lagi jurusan IPA, IPS, dan Bahasa bagi siswa SMA.

Penghapusan jurusan ini sebenarnya kebijakan lanjutan dari ditetapkannya Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional. Lewat kebijakan terbaru ini, peserta didik boleh memilih mata pelajaran yang mereka minati atau sejalan dengan proyeksi jurusan yang rencananya mereka tempuh di perguruan tinggi.

Pelajar saat melihat salah satu teknologi inovasi pendidikan yang dipamerkan pada saat Festival Pendidikan Jawa Barat 2024 di Gedung Sasana Budaya Ganesha, Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/5/2024).  (ANTARA/Novrian Arbi/wpa)

Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim mengatakan, kebijakan ini sebenarnya sudah mulai dilakukan secara bertahap sejak 2021, berbarengan dengan uji coba Kurikulum Merdeka di beberapa sekolah.

Satriwan menegaskan penghapusan jurusan di jenjang SMA memiliki niat baik, namun di sisi lain kebijakan ini tidak dibarengi kesiapan di lapangan.

Memberikan Kemerdekaan Siswa

Kemendikbudristek telah menetapkan Kurikulum Merdeka menjadi kurikulum nasional melalui penerbitan Pemendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah.

Kepala Badan Standar Kurikulum Asesmen Pendidikan Anindito Aditomo menuturkan, pemerintah telah memperkenalkan Kurikulum Merdeka kepada satuan pendidikan sejak empat tahun, tapi belum wajib diimplementasikan oleh satuan pendidikan.

Salah satu kebijakan turunan dari diterapkannya Kurikulum Merdeka adalah menghapus jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang SMA.

Satriwan Salim selaku Koordinator Nasional P2G pada dasarnya menyambut positif kebijakan Kemendikbudristek menghapus jurusan tersebut. Satriwan membeberkan sejumlah alasan yang mendukung argumennya.

Seorang siswa menguap saat mengikuti kegiatan masa orientasi pada hari pertama masuk sekolah di SMAN 8, Medan, Sumatera Utara, Senin (15/7/2024). (ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/Spt)

Pertama, menurutnya, selama ini masyarakat memiliki mindset bahwa salah satu jurusan, yaitu IPA, memiliki kasta lebih tinggi dibandingkan dua jurusan lainnya sehingga terjadi kastanisasi dalam penjurusan.

“Pola seperti ini membuat pembelajaran tidak berorientasi pada pembangunan kompetensi, melainkan lebih kepada gengsi,” kata Satriwan saat dihubungi VOI.

Kedua, pola penjurusan yang lama menurut dia tidak langsung berkorelasi dengan minat bakat anak-anak, termasuk tidak tidak juga berkorelasi dengan jurusan saat kuliah.

Ia bahkan tidak menampik selama ini banyak siswa yang memilih jurusan IPA karena diminta orangtua mereka, padahal dalam jiwanya lebih menyukai IPA. Dorongan agar memilih IPA dipicu anggapan bahwa jurusan ini akan lebih mudah memilih program studi di perguruan tinggi nanti. Akibatnya, jurusan IPA memiliki siswa lebih banyak ketimbang jurusan lain.

Terakhir kata Satriwan, pemilihan dikotomi jurusan yaitu IPA, IPS, dan Bahasa tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga tidak relevan dengan ilmu pengetahuan yang diberikan secara lintas disiplin ilmu.

“Di Kurikulum Merdeka justru sesuai dengan tujuan anak-anak, sesuai dengan jurusan yang mau mereka ambil di perguruan tinggi,” tutur Satriwan.

“Jadi di Kurikulum Merdeka mewadahi anak-anak mengambil pelajaran sesuai dengan minat bakat mereka, sesuai dengan jurusan yang akan mereka ambil di PT, dan bisa lintas disiplin ilmu,” lanjutnya.

Tantangan Besar Guru

Meski di atas kertas memiliki tujuan positif, namun Satriwan Salim tidak menutupi sejumlah tantangan yang dihadapi dalam menerapkan sistem penghapusan jurusan ini. Salah satu tantangannya adalah tidak semua sekolah memiliki jumlah guru memadai, serta sarana prasarana yang lengkap.

Dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada siswa, ada kemungkinan satu mata pelajaran yang sangat diminati oleh banyak anak, tapi ada juga yang sedikit bahkan tidak diminati sama sekali.

Misalnya adalah temuan P2G di salah satu SMA Negeri di Jakarta, yang memiliki tiga guru bahasa Jerman. Karena pelajaran tersebut dianggap sulit dan kurang diminati, guru mata pelajaran ini terancam tidak memenuhi batas minimal jam mengajar. Padahal, guru harus memenuhi batas minimal jam mengajar sebagai salah satu syarat tunjangan sertifikasi guru.

“Kalau tidak ada peminat, konsekuensinya guru tidak mengajar dan ini akan berdampak pada tunjangan profesi. Padahal tunjangan ini syaratnya guru mengajar minimal 24 jam per minggu,” jelasnya.

Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim (ANTARA/HO)

Karena kekhawatiran ini, akhirnya sekolah membuat skema ‘paket mata pelajaran’ supaya semua guru tetap memiliki jam mengajar. Seperti contoh guru Bahasa Jerman tadi, yang dipaketkan sehingga anak wajib mengambil mata pelajaran ini.

Hal ini terpaksa dilakukan agar guru pengampu pelajaran yang kurang diminati tetap bisa mengajar dan memenuhi syarat tunjangan sertifikasi guru.

“Bagi sekolah yang kondisinya tidak ideal, mereka menyiapkan ‘paket’ atau ‘menu’. Ini untuk meng-cover guru supaya tetap ada kelas,” jelasnya.

Presiden Joko Widodo berbincang dengan Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Prof Unifah Rosyidi (kiri) disaksikan mantan Mendikbud Wardiman Djojonegoro (dua kiri), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (tengah), Mendikbud Nadiem Makarim (dua kanan) dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (tidak tampak) saat menyaksikan pemberian vaksinasi COVID-19 kepada guru dan tenaga pendidikan di SMA Negeri 70 Bulungan , Jakarta Selatan, Rabu (24/2/2021). (ANTARA/HO-Biro Pers Setpres/Lukas/aa)

Ia menyadari hal ini tidak sesuai dengan Kurikulum Merdeka, namun kenyataan di lapangan banyak sekolah yang melakukan hal ini.

“Kondisi terkait ketersediaan guru, sarana dan prasarana, membuat hambatan dalam mengimplemtasikan Kurikulum Merdeka, padahal P2G pada dasarnya setuju memberikan kemerdekaan pada anak,” kata Satriwan menyudahi.