JAKARTA – Rencana pemerintah mewajibkan asuransi kendaraan pihak ketiga dipertanyakan urgensinya. Para pengamat menilai kewajiban asuransi hanya akan membebani masyarakat, terutama kalangan menengah bawah.
Ihwal rencana pemerintah mewajibkan semua pemilik kendaraan bermotor ikut asuransi third party liability (TPL) mulai 2025 terungkap setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken peraturan pemerintah melalui Kementerian Keuangan untuk menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2923 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menunggu peraturan pemerintah yang menjadi payung hukum peraturan tersebut.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan kebijakan ini hanya akan menambah beban masyarakat, khusunya yang berpenghasilan rendah.
Sedangkan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menyambut positif rencana ini. Direktur Eksekutif AAUI, Bern Dwyanto berpendapat asuransi TPL dapat mengurangi beban keuangan pemerintah dalam memberi kompensasi kepada korban kecelakaan lalu lintas.
Kemampuan Bayar Premi Rendah
Mungkin masyarakat masih banyak yang awam dengan istilah asuransi pihak ketiga atau TPL seperti yang ramai dibahas belakangan ini. Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menjelaskan, TPL adalah asuransi tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga. Skema ini menanggung risiko tuntutan ganti rugi dari pihak ketiga apabila kendaraan menyebabkan kerugian terhadap orang lain.
Sederhananya, jika kendaraan menabrak kendaraan atau harta benda dan orang lain sehingga menimbulkan tuntutan hukum, maka tuntutan ini ditanggung asuransi.
Meski program ini bisa menambah perlindungan bagi masyarakat, tidak sedikit pula yang mengkritik regulasi wajib asuransi kendaraan bermotor.
Pengamat asuransi Dedy Kristianto menganggap aturan wajib asuransi kendaraan bermotor di satu sisi bisa meningkatkan pertumbuhan sektor asuransi, karena jumlah kendaraan di Indonesia sangat besar. Tapi pertumbuhan tersebut berpotensi tidak lama, karena bukan tidak mungkin terjadi lapsed ratio atau rasio kedaluwarsa akan tinggi.
Rasio kedaluwarsa adalah perbandingan polis lewat waktu (batal) dalam satu tahun dengan jumlah polis yang masih berlaku pada awal tahun.
Dedy juga yakin akan sulit menerapkan wajib asuransi kendaraan bermotor di Indonesia, karena saat ini kendaraan bermotor dimiliki berbagai kalangan, termasuk kelompok kelas bawah.
Untuk itu, ia menganjurkan pemerintah mampu menyosialisasikan manfaat asuransi secara masif kepada masyarakat. Kesadaran pentingnya asuransi akan mendorong masyarakat secara sukarela mengasuransikan kendaraannya. Dan hal ini juga perlu dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi supaya tidak menjadi program sia-sia.
“Kesadaran dalam berasuransi harus dibarengi kemampuan membayar premi. Tanpa itu, ya tidak bisa dijalankan,” kata Dedy, dilansir Tempo.
Perlu Kajian Lebih Lanjut
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisaksi Trubus Rahadiansyah mengatakan, pemerintah seharusnya melakukan kajian terlebih dulu sebelum melaksanakan program asuransi wajib untuk kendaraan, terutama menyangkut siapa wajib pajaknya.
Dalam hal ini Trubus merujuk Pasal 39A UU PPSK yang menyatakan pemerintah “dapat mewajibkan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat untuk ikut serta dalam Program Asuransi Wajib”.
“Masyarakat tertentu yang dimaksud di sini siapa, kan harus jelas,” ujar Trubus saat dihubungi VOI.
“Di Indonesia sendiri kendaraan bermotor terbagi dua, roda dua dan empat. Ini kan dibagi lagi pemilik mobil yang CC-nya 1500, 1000 harus beda preminya. Lalu pemilik motor yang CC-nya 250 juga berbeda dengan yang lain. Dan yang CC-nya 100 bisa free alias nggak usah bayar,” lanjutnya.
BACA JUGA:
Trubus menambahkan, kebijakan mewajibkan asuransi TPL kepada kendaraan bermotor hanya akan menambah beban masyarakat secara umum. Karena selama ini masyarakat sudah dibebani sejumlah iuran seperti membayar pajak dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS). Belum lama ini pemerintah juga berencana memberlakukan pungutan wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) Untuk itu, ia menilai program ini sebaiknya dibuat optional alias sukarela.
“Apabila diwajibkan akan makin membebani masyarakat. Selama ini kan sudah ada asuransi kecelakaan, yaitu Jasa Raharja. Lalu mau nambah asuransi, asuransi apa lagi? Masyarakat kita sudah membayar kewajiban yang lain seperti BPJS, Jamsostek, pajak, dan lain-lain,” tegasnya.
Mengurangi Beban Keuangan Pemerintah
Seperti halnya Trubus, Rio Priambodo selaku Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga berpandangan tidak semua masyarakat yang punya kendaraan mampu membayar premi asuransi. Terlebih melihat daya beli masyarakat sekarang ini yang belum pulih sepenuhnya setelah pandemi COVID-19.
“Pemerintah seharusnya mengedepankan pendapat publik sebelum memutuskan wajib asuransi kendaraan tersebut,” tegas Rio, mengutip Tempo.
Di lain pihak, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menyambut gembira rencana penerapan wajib asuransi kendaraan bermotor ini. Direktur Eksekutif AAUI Bern Dwyanto mengatakan pihaknya tengah mempersiapkan para pelaku industri asuransi untuk mendukung TPL sebagai asuransi wajib.
Sebanyak 82 perusahaan yang tergabung dalam AAUI akan membentuk tiga konsorsium untuk menyediakan produk ini. Langkah tersebut dianggap dapat membantu nasabah memilih perusahaan asuransi kendaraan yang akan digunakan.
Asuransi TPL, dikatakan Bern, dapat mengurangi beban keuangan pemerintah dalam memberi kompensasi kepada korban kecelakaan lalu lintas.
“Sekaligus memberi bantuan keuangan kepada korban kecelakaan atau keluarga,” katanya.
Sejumlah benefit yang didapat dari asuransi ini antara lain biaya pengobatan untuk korban luka, santunan bagi ahli waris korban meninggal, serta penggantian kerugian materi akibat kecelakaan.