Bagikan:

JAKARTA – Pemberitaan yang berkaitan dengan hubungan benci tapi rindu antara Indonesia dan Israel hingga pertengahan 2024 begitu ramai berselancar di berbagai platform media. Dimulai dengan penolakan tim sepak bola U-20 Israel yang mengakibatkan pembatalan Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia.

Kemudian ada perang Israel-Hamas, keinginan Indonesia bergabung ke dalam Organisation for Economic Co-Operation and Development (Organisasi Kerja Sama Pembangunan Ekonomi/OECD), hingga kunjungan kader NU ke Negeri Yahudi dan bertemu Presiden Isaac Herzog.

Semua itu sebenarnya berkelindan, namun ibarat menyusun puzzle kita harus sabar merangkai. Hingga akhirnya menjadi sebuah bentuk utuh.

Dua pejalan kaki melintas di depan Markas OECD di Paris, Prancis. (Dok. OECD)

Meskipun saat ini belum tampak utuh, namun samar-samar mulai terlihat bahwa ada upaya normalisasi hubungan Indonesia dan Israel. Upaya yang tampak sangat berat dan berliku, namun keberhasilan menuju arah tersebut bukan mustahil.

Pemberitaan Media Israel

Pada 11 April lalu muncul pemberitaan di The Jerusalem Post yang menyentak komunitas internasional. Judul berita itu adalah: Indonesia to Normalize Ties with Israel amid OECD Membership Bid, Indonesia akan Menormalisasi Hubungan dengan Israel di Tengah Upaya Keanggotaan OECD.

“Potensi normalisasi hubungan tersebut muncul, karena itu adalah salah satu syarat yang diberikan OECD jika Indonesia ingin bergabung dalam organisasi ekonomi internasional tersebut,” tulis The Jerusalem Post.

Menlu Israel, Israel Katz secara terus terang menolak upaya Indonesia untuk menjadi anggota ke-39 OECD, kecuali menunjukkan gestur untuk menerima syarat normalisasi hubungan.

Israel merupakan salah satu dari 38 negara anggota OECD, organisasi yang dibentuk di Paris, Prancis pada 30 September 1961. Negeri Yahudi itu bersama Jepang dan Korea Selatan merupakan negara-negara Asia yang tergabung di dalamnya. OECD mensyaratkan setiap negara anggota harus memiliki hubungan diplomatik.

Israel Katz, Menlu Israel yang menyatakan keberatan jika Indonesia bergabung ke OECD tanpa menormalisasi hubungan dengan Negeri Yahudi tersebut. (The Jerusalem Post/Yonatan Sindel/Flash90)

“Saya dengan senang hati mengkonfirmasi bahwa Dewan telah secara resmi menyetujui prasyarat yang jelas dan eksplisit bahwa hubungan diplomatik harus dibangun oleh seluruh negara anggota OECD, sebelum keputusan untuk menerima Indonesia sebagai anggota diambil,” ujar Sekjen OECD, Mathias Cormann dalam surat resmi kepada Israel yang bertanggal 26 Maret 2024.

Israel menjawab lewat surat resmi Menlu Katz, yang ditujukan kepada Cormann.

“Saya punya harapan yang sama dengan Anda, bahwa proses ini akan menjadi proses yang transformatif bagi Indonesia. Saya menantikan perubahan positif dalam kebijakan Indonesia pada umumnya, khususnya terhadap Israel. Terutama perubahan kebijakan yang diskriminatif terhadap Israel, dan pembentukan hubungan diplomatik bilateral,” begitu jawaban Katz, dalam surat resmi bertanggal 10 April 2024.

Alasan Gabung OECD

OECD sering disebut sebagai “klub negara kaya”, terkenal karena mendorong pertumbuhan ekonomi global, perdagangan, dan kesejahteraan sosial melalui liberalisasi pasar. Bergabung dengan OECD dipandang sebagai langkah strategis untuk menempatkan Indonesia dalam jalur menuju kemakmuran ekonomi.

Sudah jamak jika setiap pendatang baru dalam klub sosial elite harus mematuhi standar tertentu. Anggota yang lama memainkan peran penting untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan, melalui mekanisme tekanan dan penegakan hukum.

Sebab itu kepatuhan terhadap tinjauan OECD bakal berdampak besar terhadap sistem politik dan ekonomi Indonesia. Memahami motivasi Indonesia untuk bergabung dengan OECD menjadi poin yang sangat penting.

Profesor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Universitas Harvard, Christina L. Davis dalam makalahnya More than Just a Rich Country Club: Membership Conditionality and Institutional Reform in the OECD, 26 Juni 2016, menyebutkan dua alasan utama sebuah negara tertarik bergabung dengan OECD.

Presiden Joko Widodo saat menerima delegasi OECD di Istana Presiden, Jakarta pada 10 Agustus 2023. (Biro Setpres Istana)

Pertama, memberikan manfaat ekonomi yang nyata. Keanggotaan OECD dapat meningkatkan kepercayaan investor dan menarik investasi asing, yang pada akhirnya akan membuka lapangan kerja dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Kedua, lebih dari sekedar masalah ekonomi, bergabung dengan OECD juga meningkatkan status sebagai kelompok negara kaya. Keanggotaan OECD memberikan peningkatan status dan penerimaan dalam komunitas internasional. Hal ini memperkuat persepsi tentang kesamaan pikiran, saling menguntungkan, dan dipandang sebagai pemain penting dalam pergaulan global.

Indonesia sedang berusaha keras mengejar target pembangunan dalam Visi Indonesia Emas 2045. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2025-2045, Indonesia ingin mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi 6-7 persen per tahun dan keluar dari middle-income trap. Intinya, Indonesia bercita-cita menjadi negara berpendapatan tinggi dalam dua dekade ke depan.

Peluang Indonesia

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto diberi kesempatan untuk berpidato dalam Pertemuan Tingkat Menteri OECD di Paris, pada 2 Mei lalu. Airlangga juga bertugas memandu diskusi soal kemungkinan Indonesia bergabung di organisasi tersebut.

Airlangga sudah pasti paham benar persyaratan yang diberikan OECD, jika Indonesia berkeinginan bergabung sebagai anggota ke-39.

"Kita bicara terkait dengan pembangunan berkelanjutan, dan juga terkait dengan program-program Indonesia yang terkait dengan lingkungan, terkait dengan transisi energi, dan terkait dengan capaian Indonesia ke depan untuk membangun ekonomi yang ramah terhadap lingkungan," ujar Airlangga, dalam keterangan yang dikutip VOI pada 4 Mei.

Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto saat bertemu Sekjen OECD, Mathias Cormann untuk menghadiri pertemuan organisasi internasional tersebut di Paris, Prancis pada 2 Mei 2024. (ekon.go.id)

Keinginan untuk bergabung dengan OECD dipertegas pernyataan Pelaksana harian (Plh) Deputi IV Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud. Musdhalifah menyampaikan Indonesia saat ini memiliki target untuk masuk dalam keanggotaan OECD.

Untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus berpendapatan sekitar 28.000 hingga 33.000 dolar AS. Sementara itu, hingga saat ini Indonesia baru sekitar 4.900 dolar AS. Indonesia adalah negara Asia Tenggara pertama yang menjadi kandidat anggota OECD dan sudah menjadi partner penting sejak 2007 bersama Brasil, China, India, serta Afrika Selatan. 

Risiko yang Dihadapi Indonesia

Gagasan normalisasi hubungan dengan Israel sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Dimulai dengan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid yang melontarkan ide tersebut. Gus Dur beralasan, tanpa membangun hubungan diplomatik dengan Palestina dan Israel, Indonesia tak akan mampu berperan untuk mewujudkan perdamaian antara kedua negara.

Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, Yahya Cholil Staquf juga pernah bertemu dengan PM Israel, Benjamin Netanyahu di Yerusalem pada 14 Juni 2018. Pertemuan tersebut mendapat kecaman dari banyak pihak, terutama Palestina yang mengutuk keras lewat kementerian luar negerinya.

The Jerusalem Post pada 11 Januari 2022 menurunkan laporan berjudul How Agriculture Led to Indonesia’s Defense Minister to Talk Normalization with Israel. Isi berita tersebut adalah soal upaya Menhan Prabowo Subianto membicarakan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, yang dibalut dalam kemasan alih teknologi pertanian.

Indonesia sebenarnya secara diam-diam sudah membangun hubungan dengan Israel, dalam segala hal. Mulai pertanian, kesehatan, obat-obatan, hingga pertahanan. Saat pandemi COVID-19 Israel menyumbang 15 ribu botol Taffix, obat anti-COVID buatan Israel yang digunakan dengan cara dihirup. Bantuan tersebut diterima Menkomarinves Luhut Binsar Pandjaitan, dan didistribusikan untuk tenaga kesehatan serta personel militer.

Demonstrasi anti-Israel yang digelar di Surabaya, Jawa Timur pada 17 Noveber 2023. (The Times of Israel/AFP/Juni Kriswanto)

Risiko yang harus dihadapi Indonesia jika terang-terangan membuka hubungan diplomatik dengan Israel memang bermacam-macam. Normalisasi jelas bakal mengganggu hubungan Indonesia dengan negara-negara Muslim yang masih menentang Israel.

Normalisasi juga dapat dilihat sebagai upaya melemahkan sikap Indonesia sebagai negara antikolonialisme dan imperialisme. Indonesia secara historis memainkan peran penting dalam Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non Blok, sebagai pendukung negara-negara berkembang.

Membuka hubungan diplomatik dengan Israel, bakal dilihat sebagai penyimpangan peran historis. Juga berpotensi mendegradasi posisi Indonesia di mata negara-negara berkembang, sekaligus mengurangi jangkauan diplomasi dengan mereka.

Keputusan untuk menormalisasi hubungan dengan Israel tak bisa hanya didasarkan pada perhitungan strategis, namun juga menjadi upaya perwujudan kedamaian dan keadilan di Timur Tengah. Jika Indonesia terpaksa mengubah kebijakan politik luar negerinya, proses pengambilan keputusan harus dilakukan inklusif dan transparan. Keputusan yang diambil harus merupakan cerminan nilai-nilai kolektif dan kemauan masyarakat Indonesia.