JAKARTA – Gregoria Mariska Tunjung berhasil merebut hati pencinta bulu tangkis Indonesia berkat penampilan heroiknya di Olimpiade Paris 2024. Tapi di satu sisi, badminton lover menuntut perombakan besar-besaran di tubuh Persatuan Bulu tangkis Seluruh Indonesia (PBSI).
Indonesia sukses menyabet medali pertama di Paris setelah Gregoria mempersembahkan perunggu. Pebulu tangkis yang akrab disapa Jorji ini memastikan peringkat tiga sektor tunggal putri meski tanpa harus memainkan pertandingan perebutan tempat ketiga.
Gregoria, 24 tahun, sedianya berhadapan dengan pemenang pertandingan semifinal tunggal putri lainnya antara Carolina Marin dari Spanyol dan wakil China He Bing Jiao.
Carolina Marin terpaksa mundur di gim kedua karena cedera, padahal dia memenangi set pertama dengan skor 21-14.
Keberhasilan Jorji menyelamatkan wajah Indonesia di Olimpiade. Maklum, bulu tangkis merupakan harapan mendulang medali. Sejak diperkenalkan pada Olimpiade Barcelona 1992, bulu tangkis selalu mempersembahkan medali.
Bahkan dalam tujuh dari delapan edisi tersebut, cabor ini selalu menyumbang medali emas. Kini, setelah prestasi bulu tangkis di Paris berantakan, kinerja pengurus PBSI pun menjadi perhatian, karena dituding lebih fokus menyiapkan musyawarah nasional ketimbang Olimpiade, yang merupakan ajang olahraga terbesar di dunia.
Tunjukkan Mental Bertanding
Gregoria memang meraih medali dengan cara yang tidak ditentukan lewat pertandingan. Perunggu giveaway, katanya. Tapi hasil ini tidak mengecilkan bagaimana perjuangan Jorji hingga ke empat besar.
Beban berat jelas berada di pundaknya, ketika empat wakil Indonesia di cabang ini langsung tersingkir di babak penyisihan grup. Mereka adalah Anthony Sinisuka Ginting, Jonatan Christie, Apriyani Rahayu/Siti Fadila Silva Ramadhanti, dan Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari.
Jorji kemudian menjadi satu-satunya harapan Indonesia mengibarkan merah putih di Paris setelah pasangan ganda putra Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto dipulangkan Liang Wei Keng/Wang Chang dari China di perempat final.
Meski kemudian langkahnya terhenti di semifinal, dan mendapatkan medali secara “cuma-cuma” perjuangan Gregoria tak bisa dipandang sebelah mata.
Di tengah beban berat yang dipikul, Jorji berhasil membungkam peragu dengan menundukkan Ratchanok Intanon. Atlet berkebangsaan Thailand ini berhasil menundukkan Grego delapan kali dari sembilan pertemuan sebelumnya, yakni pada laga Piala Uber 3 Mei 2024.
BACA JUGA:
Mental bertanding Jorji kala menghadapi Intanon patut diacungi jempol. Ia berhasil menang dua set langsung, 25-23, 21-9.
Pun saat jumpa An Se-young, unggulan pertama sekaligus peringkat pertama dunia. Pemain kelahiran Wonogiri ini kembali bertanding penuh percaya diri dan sikap mental yang bagus pada Minggu (4/8/2024) siang WIB.
Lihat saja bagaimana raut wajah An Se-young di akhir pertandingan. Se-young merangkul hangat dan mengajak Jorji berfoto bersama untuk menunjukkan pengakuannya atas kualitas bermain sang lawan. Ia bahkan memimim penonton untuk memberikan tepuk tangan kepada Gregoria, yang tersenyum dibuatnya.
Sebuah mentalitas bertanding yang selama turnamen Olimiade 2024 ini dikeluhkan Ricky Subagja, yang saat ini berperan sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI.
Olimpiade jadi Penilaian
Setelah wakil Indonesia dipastikan tidak ada yang melaju sampai final, warganet menumpahkan kegeraman pada pengurus PBSI. Menurut mereka keterpurukan Merah Putih di Paris tahun ini adalah hasil dari ketidakbecusan para petinggi PBSI dalam mengelola induk organisasi bulu tangkis dalam negeri.
“Yuk malu dikit yuk pengurusnya, mundur alon-alon,” tulis seorang pengguna X, yang dulunya Twitter.
Sementara pengguna lainnya menulis, “Hasil yang sangat menyedihkan, ngga cuman Olimpiade aja. Pengurus dan ketua umum wajib minta maaf dan mundur!!!”
Kegeraman badminton lover terhadap pengurus PBSI sebenarnya sudah tercium sejak lama. Ajang Olimpiade ini justru menjadi penilaian kinerja pengurus karena berlangsung di masa akhir kepengurusan periode yang berlangsung empat tahun.
Khusus untuk PBSI 2020-2024, kepengurusan di bawah Agung Firman Sampurna sebagai ketua umum dan Alex Tirta sebagai ketua harian sekaligus Wakil Ketua Umum I, mendapatkan dua momen Olimpiade, yaitu Tokyo 2020 dan Paris 2024. Ini karena Tokyo 2020 digelar pada 2021 setelah pandemi COVID-19 mereda.
Di Tokyo, Indonesia meraih emas lewat Greysia Polii/Apriyani Rahayu, sebuah prestasi yang disambut gempita oleh pengurus baru, yang baru terpilih delapan bulan sebelumnya. Dua bulan setelahnya Indonesia meraih Piala Thomas 2020 di Denmark, yang juga ajang limpahan dari 2020.
Tapi penilai sesungguhnya bagi PBSI 2020-2024 adalah di Olimpiade 2024. Dalam perjalanan menuju Paris yang dimulai fase kualifikasi pada 1 Mei 2023 sampai 28 April 2024, beberapa keputusan PP PBSI bikin pecinta bulu tangkis mengerutkan dahi.
Nova Widianto, pelatih ganda campuran, memilih pindah ke Malaysia pada Desember 2022. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, apalagi dua ganda campuran muda Indonesia baru membuat progres mengesankan.
Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari berhasil menjadi semifinalis BWF World Tour Finals 2022. Sementara itu, Rehan Naufal Kusharjanto/Lisa Ayu Kusumawati juga sukses meraih gelar BWF World Tour Super 300 pertama mereka, Hylo Open 2022. Di final, tak tanggung-tanggung mereka mengalahkan peraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020 Huang Dong Ping yang menggandeng pemain muda Feng Yan Zhe.
Saat pindah, Nova mengaku "mencari tantangan baru" sebagai alasan utama di balik keputusannya, walau hal itu tentu tak memuaskan warganet.
Kemudian pada Juni 2023, Djoko Mardijanto ditunjuk sebagai pengganti. Rekam jejaknya tidak terlalu mentereng. Ia hanya pernah menjadi juara Asia 1992 bersama Sri Untari. Target Olimpiade dianggap terlalu besar untuk Djoko.
PBSI sendiri juga yang mencoret Djoko tiga bulan kemudian. Alasannya usia dan kompetensi. Pergantian pelatih dalam waktu singkat di tengah target besar menyulitkan pemain ganda campuran untuk beradaptasi.
Mantan pelatih ganda campuran, Richard Mainaky, yang sekarang melatih di PB Talenta, Manado, bahkan ikut menyayangkan situasi yang terjadi saat itu.
Sibuk Musyawarah Nasional
Kinerja PBSI kembali disorot warganet gara-gara Indonesia nirgelar di Kejuaran Dunia 2022 dan 2023. Piala Thomas yang diraih pada 2021 juga tidak terulang di dua edisi berikutnya, karena jatuh ke tangan India pada 2022 dan China pada 2024.
Desakan supaya ketua umum dan pengurus PBSI mundur makin kencang kala Indonesia tak mendapat medali di Asian Games Hangzhou 2022.
Pada musim kompetisi 2023, Indonesia hanya mengoleksi 13 gelar juara dari turnamen BWF World Tour (Final BWF, Super 1000, 750, 500, dan 300). Jumlah ini tertinggal jauh dari China yang memborong 47 gelar, Korea Selatan 25 gelar, dan Jepang 2020.
Di tengah penurunan prestasi bulu tangkis, petinggi PBSI tampak tak terlalu serius berbenah. PBSI malah sibuk menyiapkan musyawarah nasional yang akan digelar di Surabaya paa 10-12 Agustus. Agenda utamanya adalah memiliki ketum untuk periode empat tahun ke depan.
Pemilihan ketum malah menjadi agenda paling menarik perhatian anggotanya, yaitu pengurus provinsi PBSI. Sedangkan tema pembinaan dan prestasi dianggap tak terlalu menarik didiskusikan.
Sepertinya pengurus PBSI lupa atau bahkan itu adalah hal penting untuk mengembalikan kejayaan bulu tangkis. Setelah ini, pelatnas juga diprediksi kehabisan atlet untuk Los Angeles 2028. Gregoria, Jonathan, dan Anthoni di tunggal butuh penerus. Pun dengan penerus Fajar/Rian yang kelihatannya sulit untuk lolos kembali ke Olimpiade.
Keberhasilan Jorji menyelamatkan wajah bulu tangkis Indonesia seharusnya tidak serta merta mematikan keharusan PBSI melakukan evaluasi besar-besaran. Empat tahun bukan waktu lama untuk memperbaiki segala kekurangan yang ada supaya Indonesia bisa kembali berjaya di Los Angeles.