Bagikan:

JAKARTA – Vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur tidak hanya mencoreng citra hukum di Indonesia, tapi juga menjadi alarm bahwa kekerasan terhadap perempuan masih dipandang sebelah mata.

Keluarga Dini Sera Afrianti kaget bukan main ketika mendengar kabar bahwa Ronald Tannur divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya dari tuntutan pidana dalam kasus dugaan pembunuhan.

Putusan hakim yang membebaskan Ronald Tannur tidak hanya membuka kembali luka keluarga almarhumah, tapi juga masyarakat secara umum yang kadung kadung kecewa terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Gregorius Ronald Tannur berjalan dengan pengawalan petugas kejaksaan usai menjalani sidang dengan agenda pembacaan putusan atau vonis di Pengadilan Negeri Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (24/7/2024). (ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc)

“Profesionalisme hakim dipertanyakan publik, peran aktif Mahkahmah Agung (MA) dan komisi yudisial adalah wajib, jangan sampai terulang dan perlu ada upaya koreksi segera,” kata pakar hukum pidana Masykur Isnan saat dihubungi VOI.

Tak hanya itu, putusan majelis hakim PN Surabaya yang memvonis bebas Ronald Tannur dianggap sebagai alarm bahaya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan oleh penegak hukum. Ini sekaligus menambah rekam jejak tumpulnya keadilan pada perempuan korban kekerasan.

Dakwaan Pembunuhan Tak Terbukti

Salah satu pertimbangan hakim adalah Ronald Tannur tidak terbukti melindas Dini Sera dengan mobilnya. Majelis hakim PN Surabaya menyatakan kematian Dini Sera disebabkan penyakit lain akibat meminum minuman beralkohol, bukan karena luka penganiayaan yang dilakukan terdakwa Ronald Tannur.

“Kematian Dini bukan karena luka dalam pada hatinya, tetapi karena ada penyakit lain disebabkan minum minuman beralkohol saat karaoke sehingga menyebabkan meninggalnya Dini,” kata ketua majelis hakim Erintuah Damanik dalam sidang putusan yang dibacakan Rabu, 24 Juli 2024.

Selain itu, menurut hakim, Ronald Tannur masih berupaya melakukan pertolongan terhadap korban di saat masa-masa kritis. Buktinya, terdakwa masih sempat membawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.

Ayah Dini Sera, Ujang Suherman bersama adik Dini Sera, Alfika Risma mendatangi DPR RI, Jakarta, Senin (29/7/2024). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)

“Sidang telah mempertimbangkan dengan saksama dan tidak menemukan bukti yang meyakinkan bahwa terdakwa bersalah seperti yang didakwa,” ucap hakim.

Majelis hakim juga berkesimpulan tidak ada saksi yang mengetahui secara pasti Ronald bebuat kejahatan seperti dakwaan jaksa penuntut. Selain itu, hakim tidak melihat bukti bahwa Ronald melindas dengan mobil yang dikemudikannya.

Padahal, isi rekaman CCTV memperlihatkan mobil Innova melaju saat seorang perempuan (Dini) duduk bersandar di pintu kiri. Seorang lelaki (Ronald) masuk mobil dan melajukan kendaraan itu sehingga si perempuan terseret dan terlindas. Ronald disimpulkan tidak berniat membunuh atau merampas nyawa orang lain sehingga unsur-unsur dalam dakwaan tidak terpenuhi.

Tidak Cerminkan Aspek Keadilan dan Kebermanfaatan

Pengamat hukum pidana Masykur Isnan mengatakan pertimbangan hakim melihat pembuktian haruslah komperehensif, tidak boleh seperti yang saat ini diberitakan, yakni pada keterangan satu ahli dan narasi bahwa terdakwa berniat baik dengan membawa korban ke rumah sakit, tanpa mempertimbangkan kesesuaian dari seluruh bukti untuk membuat kesimpulan dan keyakinan dalam membuat putusan.

Putusan juga dinilai tidak mencerminkan aspek keadilan dan kebermanfaatan, sehingga menimbulkan guncangan dan masalah.

“Menariknya, melihat dinamika di persidangan, hakim cenderung pada formalistik hukum, ini menjadi catatan tersendiri jika disandingkan pada rasa keadilan publik yang seharusnya tidak dikesampingkan,” kata Isnan.

“Hakim dan hukum tidak melulu sebagai corong undang-undang, tetapi harus lebih progresif pada nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan,” imbuhnya.

Anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka (kanan) memberi keterangan kepada pers usai mendampingi keluarga Dini Sera Afrianti melapor ke Komisi Yudisial RI, Jakarta, Senin (29/7/2024). (ANTARA/Fath Putra Mulya)

Di tengah kesangsian publik terhadap hukum di Indonesia, kasus ini menurut Masykur Isnan hanya menambah kecemasan. Ia mengatakan hukum tidak lagi dianggap efektif dalam menertibkan dan makin membuat kepercayaan atas penegakan hukum dan aparatur hukum menghilang.

Untuk menjawab respons masyarakat yang terlanjur murka terhadap putusan bebas Ronald, ia menyebut upaya kasasi oleh kejaksaan tinggi bisa menjadi langkah tepat agar keadilan bisa ditegakkan.

“Karena kasus ini, citra hukum, lembaga hukum, dan aparatur hukum kembali dipertaruhkan,” pungkasnya.

Termasuk Femisida Relasi Intim

Majelis hakim PN Surabaya tidak hanya mengecewakan keluarga korban, tapi juga masyarakat yang menanti keadilan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan secara khusus.

Klaim majelis hakim yang menyebut Dini meninggal karena minum alkohol memuncaki kekecewaan Komnas Perempuan atas vonis bebas terhadap Ronald Tannur. Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menegaskan, kasus pembunuhan Dini bisa disebut sebagai tindakan femisida.

“Termasuk kategori femisida dalam relasi intim atau intimate partner femicide yang belum dikenali dengan baik di Indonesia,” ucap Siti.

Komnas Perempuan memberikan rumusan pengertian femisida sebagai pembunuhan yang dilakukan secara sengaja terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya, yang didorong oleh adanya perasaan superior, dominasi, maupun misogini terhadap perempuan, rasa memiliki terhadap perempuan, ketimpangan kuasa, dan kepuasan sadistik.

Warga berunjuk rasa atas kasus sidang putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur di Alun Alun Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/7/2024). (ANTARA/Umarul Faruq/aww)

Kasus pembunuhan terhadap perempuan harus menjadi perhatian. Pasalnya, hal ini sangat sering terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Siti Aminah menambahkan, kasus pembunuhan terhadap Dini adalah eskalasi dari kekerasan dalam pacarana yang dialami korban selama membangun relasi dengan Ronald. Putusan bebas kepada Ronald menjadikan hak korban atas keadilan tidak terpenuhi.

“Ini memberi pesan kepada masyarakat bahwa kekerasan terhadap pacar tidak dihukum, terlebih jika tersangka memiliki kuasa,” kata Siti.

Menurut data Komnas Perempuan pada 2023, femisida intim berada di urutan teratas sebagai kasus dengan pemberitaan tertinggi. Kasus femisida yang meliputi kekerasan terhadap istri (KTI) tercatat sebanyak 64 kasus, kekerasan dalam pacarana (KDP) sebanyak 33 kasus, kekerasan mantan pacar (KMP) sebanyak 11 kasus, dan kekerasan mantan suami (kms) ada satu kasus.

Alarm Bahaya untuk Kasus Kekerasan terhadap Perempuan

Sementara itu, bidang sosial dari The Indonesian Institute (TII) Dewi Rahmawati Nur Aulia menjelaskan kasus femisida atau pembunuhan terhadap perempuan salah satunya diatur Pasal 44 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) serta UU KUHP Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340, Pasal 344, Pasal 345, dan Pasal 350. Ia menyayangkan hakim tidak melihat kasus pembunuhan Dini sebagai tindak kejahatan.

Vonis bebas Gregorius Ronald Tannur yang diputuskan majelis hakim PN Surabaya tidak hanya menjadi alarm bahaya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, tapi juga menambah rekam jejak tumpulnya keadilan pada perempuan korban kekerasan.

“Pelaku kekerasan selama ini hanya dijatuhi vonis rendah,” kata Dewi.

Budaya patriarki yang masih dianut sebagian masyarakat Indonesia membuat perempuan rentan menjadi korban kekerasan. Dewi berharap penegak hukum memiliki kepekaan tinggi terhadap perspektif gender dalam penanganan perkara.

“Diperlukan kompetensi dalam penanganan kasus. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengadakan sejumlah training atau workshop penanganan kasus perempuan berperspektif HAM dan gender,” Dewi menyudahi.