Bagikan:

JAKARTA – Maraknya kasus sengketa lahan sekolah menunjukkan pemerintah belum mampu memberikan hak pendidikan bagi setiap anak di Indonesia dalam kondisi apa pun, demikian dituturkan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji.

Peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh 23 Juli ternyata tidak serta merta menjadi hari yang membahagiakan. Setidaknya itu yang dirasakan bagi sekitar 1.000 siswa SD di Makassar, Sulawesi Selatan.

Mereka terpaksa belajar di rumah di masa-masa awal tahun ajaran baru 2024/2025 dimulai. Penyebabnya karena sekelompok orang yang mengaku sebagai ahli waris menyegel gerbang kompleks tempat tiga SD berada, yaitu SD Inpres Pajjaiang, SD Inpres Sudiang, dan SD Negeri Sudiang.

Siswa SDN Kuranji hari pertama masuk sekolah dengan kondisi sekolah masih disegel, Senin (15/7/2024). (ANTARA/Desi Purnama Sari)

Nasib serupa dialami guru dan siswa di SDN Kuranji, Serang, Banten yang terpaksa menggunakan pagar kecil dan sempit untuk keluar masuk sekolah karena gerbang disegel menggunakan kayu dan pagar bambu yang juga disebabkan persoalan sengketa lahan.

Untuk kasus di Makassar, sengketa bermula ketika warga yang mengaku ahli waris menggugat Pemerintah Kota Makassar pada 2017 ke jalur hukum terkait kepemilikan lahan kompleks SD Pajjaiang seluas 8.100 meter persegi.

Pemkot Makassar kalah di tingkat pertama, banding, hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA) dan diputus membayar ganti rugi atas penguasaan lahan tersebut kepada ahli waris, sesuai putusan MA nomor: 1021 K/Pdt/2020 tanggal 3 Juni 2020. Namun Pemkot Makassar belum membayar ganti rugi lahan yang dituntut ahli waris sebesar Rp14 miliar karena mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK).

Keruwetan Tukar Guling Lahan

Dari sekian banyak kasus sengketa lahan sekolah yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, guru dan murid selalu menjadi korban. Proses belajar mengajar tidak bisa dilakukan secara ideal karena gedung sekolah mereka bermasalah.

Selain diliburkan, opsi lain yang umumnya diberikan adalah memindahkan proses belajar mengajar ke tempat lain, seperti lahan kosong atau ke rumah warga. Ini jelas bukan sebuah pemandangan yang diimpikan anak sekolah. Alih-alih menikmati masa sekolah yang menyenangkan, mereka justru harus menerima kenyataan bersekolah di tempat yang tidak seharusnya. Padahal, pendidikan adalah hak setiap anak.

Suasana kegiatan belajar-mengajar di SD Negeri 17 Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat. (ANTARA/Mentari Dwi Gayati/aa)

Pengamat hukum pidana Farizal Pranata Bahri menuturkan maraknya sengketa lahan sekolah terjadi karena status lahan pendirian sekolah tidak jelas siapa yang jadi pemiliknya. Biasanya, lahan yang dijadikan sekolah merupakan hasil hibah, wasiat, atau belum terseleksinya proses tukar guling alih lahan atau ruislag.

Ia menambahkan, dalam beberapa kasus, sengketa lahan sekolah terjadi karena adanya klaim ahli waris bahwa mereka adalah penerima hibah dari pemilik sebelumnya yang telah meninggal dunia. Sedangkan di kasus lainnya, masalah sengketa juga bisa terjadi karena tukar guling yang tidak tertulis.

Tak Ada Perlindungan Pemerintah

Kornas JPPI Ubaid Matraji menyebut, kasus sengketa lahan yang sering terjadi menujukkan bahwa pemerintah belum mampu memberikan perlindungan hak pendidikan bagi setiap anak di Indonesia dalam kondisi apa pun. Pemerintah, menurut Ubaid, tidak memiliki sistem proteksi bagi para siswa jika sekolah sedang berkonflik.

 “Kita tidak punya mekanisme atau mitigasi bagaimana menampung anak-anak yang sekolahnya bermasalah, berkonflik dan sebagainya sehingga bisa pastikan ketika ada kasus semacam itu anak-anak enggak sekolah,“ kata Ubaid.

Ubaid menegaskan, pemerintah bukan sekadar tak mampu memberikan perlindungan hak pendidikan dalam kondisi darurat, tapi juga dalam situasi normal. Ia merujuk pada banyaknya siswa yang didiskualifikasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Sejumlah anak membaca buku di Taman Baca Ramah Anak dan disabilitas di Sentra Terpadu Pangudi Luhur di Bekasi, Jawa Barat,Selasa (23/7/2024). (ANTARA/Fakhri Hermansyah/tom)

“Lihat saja bagaimana nasib anak-anak yang didiskualifikasi PPDB, tidak ada upaya pemerintah menjamin mereka tetap sekolah,” katanya.

Menghilangkan perbedaan antara sekolah negeri dan swasta, menurut Ubaid, bisa menjadi salah satu solusi ketika terjadi sengketa lahan yang memaksa siswa ‘dirumahkan’. Ketika sekolah negeri mengalami masalah, seharusnya bisa ditampung di sekolah-sekolah swasta terdekat.

 “Sekolah swasta itu banyak, ada yang model sekolah formal dan non-formal, ada juga model madrasah, pestantren, dan seterusnya. Itu harus bisa langsung menampung anak yang dalam situasi emergency. Jadi jangan sampai proses pembelajaran terganggu,” ucap Ubaid.

Kondisi Tidak Ideal

Pendidikan adalah investasi terbaik untuk calon penerus bangsa. Melihat banyaknya persoalan sengketa lahan yang disebabkan belum dibayarnya ganti rugi atas lahan sekolah oleh pemerintah daerah, wajar jika kemudian masyarakat mempertanyakan komitmen pemerintah untuk memenuhi hak anak mendapatkan pendidikan tanpa hambatan.

Ketua DPR Puan Maharani menekankan pentingnya perubahan mekanisme dalam anggaran pendidikan. Ia melihat keterlambatan pembayaran atas lahan sekolah memengaruhi proses belajar mengajar.

"Jangan hanya karena keterlambatan pembayaran atau pelunasan, maka anak-anak kita terganggu belajarnya. Ini kondisi yang tidak ideal dan sangat penting bahwa Pemerintah daerah segera mengambil langkah-langkah menyelesaikan permasalahan ini," ujar Puan, dikutip laman resmi DPR.

"Kita berharap bahwa dengan aksi sigap dari pemerintah, masalah terganggunya proses belajar mengajar, apapun bentuknya, akan cepat diatasi. Negara wajib memberikan lingkungan belajar yang aman dan nyaman," tegasnya.

Ia juga mendorong agar pemerintah pusat ikut andil mengawal, atau bahkan terlibat dalam menyelesaikan berbagai masalah sengketa lahan sekolah yang merugikan anak sebagai generasi masa depan Indonesia.