JAKARTA – Sebagai salah satu negara dengan jumlah anak terbanyak di dunia, Indonesia menargetkan menjadi negara maju, modern, dan sejajar dengan negara-negara adidaya pada 2045 alias ketika negara ini merayakan 100 tahun kemerdekaan. Mampukah Indonesia memanfaatkan bonus demografi dan menghadirkan generasi unggul di Indonesia Emas 2045?
Masih ada waktu sekitar dua dekade lagi untuk merayakan ulang tahun kemerdekaan ke-100 Republik Indonesia. Dibutuhkan persiapan yang sangat matang untuk mewujudkan mimpi Indonesia menjadi negara maju.
Anak-anak Indonesia saat ini adalah masa depan bangsa. Anak-anak Indonesia sekarang ini diharapkan akan membawa Indonesia jauh lebih maju dibandingkan sekarang.
Namun anak Indonesia tidak akan menjadi sumber daya yang potensial jika ada pengabaian di 1.000 hari pertama kehidupan atau yang sering disebut dengan golden age. Seribu hari pertama kehidupan manusia adalah periode yang sangat memengaruhi kehidupan seseorang ke depannya.
“Dalam 1.000 hari pertama adalah masa-masa penting, gangguan pada masa ini akan berdampak signifikan pada periode kehidupan,” kata Ahmad Suryawan, Anggota Unit Kerja Koordinasi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang biasa disapa Wawan.
Jumlah Anak Tertinggi Keempat di Dunia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang termasuk anak ada seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, dan termasuk yang masih di dalam kandungan.
Anak-anak dengan rentang usia 0-18 tahun sekarang ini, atau disebut juga dengan generasi alfa, adalah calon penerus bangsa. Dibutuhkan anak-anak yang cerdas dan berperilaku baik untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas pula.
Menurut data Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNICEF, sepertiga penduduk Indonesia adalah anak-anak. Jumlah ini setara dengan 80 juta anak-anak dan ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah anak terbesar keempat di dunia.
Jumlah anak ini tersebar di Jawa Barat (18,8 persen), Jawa Timur (12,8 persen), Jawa Tengah (12,7 persen), Sumatera Utara (6,2 persen), Banten (4,6 persen), dan provinsi lainnya sebesar 46 persen.
“Indonesia memiliki populasi anak terbesar keempat di dunia, jadi kita punya PR yang cukup besar untuk membantu pemerintah,” ucap Wawan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menghasilkan SDM berkualitas dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 adalah dengan memerhatikan asupan gizi di 1000 hari pertama kehidupan, yang dimulai sejak dalam kandungan hingga usia dua tahun.
"Pada usia dua tahun, perkembangan otak mencapai 80 persen. Dalam konteks itu, yang sangat diperlukan untuk perkembangan otak anak adalah nutrisi dini yang berkualitas dan stimulasi dini," kata Wawan dalam diskusi daring bertajuk Membangun Generasi Anak Indonesia Sehat menuju Indonesia Emas, Kamis (25/7/2024).
Masalah Gizi Masih Menghantui
Dengan jumlah anak yang begitu besar dan diharapkan menjadi generasi unggul, Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan. Mulai dari kemiskinan dan ketimpangan pada anak, kesehatan remaja dan anak, hingga masalah gizi.
Gizi yang berkualitas adalah penentu keberlangsungan hidup, kesehatan, dan pertumbuhan anak. Anak yang bergizi baik dapat bertumbuh dan belajar, berpartisipasi dan bermanfaat bagi masyarakat.
Selain itu, dengan gizi yang berkualitas anak juga mampu bertahan saat menghadapi tantangan penyakit, bencana alam, dan bentuk lain dari krisis global. Gizi anak merupakan prioritas Indonesia dan bagian dari komitmen pemerintah untuk menanggulangi permasalahan gizi seperti berat badan lahir rendah dan stunting.
Kekurangan gizi pada anak merupakan masalah signifikan di Indonesia. Tiga masalah kekuarangan gizi yang memengaruhi anak usia balita adalah stunting, berat badan rendah dan wasting atau anak sangat kurus.
BACA JUGA:
Meski prevalensi stunting Indonesia terus menunjukkan perbaikan, namun masih ada kerja-kerja penting yang perlu dilaksanakan.
Stunting adalah cerminan kekurangan gizi kronis dan dapat menimbulkan jangka panjang, antara lain hambatan pertumbuhan, penurunan kemampuan kognitif dan mental, kerentanan terhadap penyakit, hingga produktivitas ekonomi rendah.
Sedangkan wasting adalah kekuarangan gizi akut dan frekuensi sakit yang tinggi pada anak. Kondisi ini meningkatkan risiko kematian anak secara signifikan.
Stunting dan wasting terjadi karena anak tidak mendapatkan gizi layak atau sesuai pada semua tahapan hidupnya. Kondisi ini dapat berimplikasi signifikan terhadap kesehatan dan keberlangsungan hidup anak dalam jangka panjang, serta produktivitas ekonomi Indonesia dan kemampuan bangsa ini mencapai target pembangunan nasional dan internasional.
Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai tanpa investasi pada kesejahteraan anak khususnya mengentaskan sejumlah masalah gizi yang dampaknya jangka panjang.
Anak-anak Indonesia memang masih menghadapi banyak tantangan, namun dengan melindungi anak dari tantangan, diharapkan generasi pengganti ini membawa negara jauh lebih maju dibandingkan sekarang.