JAKARTA – “Elite organisasi keagamaan yang diharapkan mampu menjadi cahaya di tengah kegelapan justru mematikan cahayanya sendiri dengan menjerumuskan organisasi dalam kubangan batu bara,” ucap Firdaus Cahyadi, Indonesia Team Lead Interim 350.org.
Pernyataan terebut dilontarkan setelah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengumumkan menerima tawaran pemerintah mengelola tambang batu bara.
"Muhammadiyah siap menerima (izin) pengelolan tambang itu karena pertimbangan pokok ingin mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi orang banyak," ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat konferensi pers di Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (28/7/2024).
Pada Juli lalu Muhammadiyah kabarnya melakukan kajian terkait konsesi tambang dan mendengarkan kelompok-kelompok yang disebut pro dan kontra pada tambang, salah satunya masukan dari pengurus di daerah.
“Inilah kehidupan, kita dihadapkan pada realitas, kehidupan politik, ekonomi, budaya,” imbuh Haedar Nashir.
Keputusan Muhammadiyah akhirnya menerima konsesi tambang dari pemerintah menuai kritik. Akun media sosial Instagram milik PP Muhammadiyah @lensamu dihujani kecaman.
BACA JUGA:
Salah satu kekhawatiran masyarakat dengan keputusan Muhammadiyah ini adalah dampak terhadap lingkungan, seperti yang ditulis akun @gilang_almilda.
“Biar diserahkan kepada ahlinya, pihak negara, swasta, atau bahkan pihak asing. Pengelolaan tambang yang diberikan kepada ormas keagamaan malah akan menimbulkan masalah baru. Seperti masalah tambang pada umumnya, penyerobotan lahan, dampak ekologis, dampak lingkungan, pemilihan tenaga kerja dll,” tulisnya.
Meninggalkan Simbol Matahari
Muhammadiyah merupakan organisasi massa (ormas) Islam terbesar kedua di Indonesia, tepat di belakang Nahdlatul Ulama (NU). Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Agama (Kemenag) pada 2019, Muhammadiyah memiliki lebih dari 60 juta anggota yang tersebar di seluruh Indonesia.
Muhammadiyah memiliki berbagai usaha yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, mulai dari pendidikan, perguruan tinggi, panti asuhan, dan rumah sakit.
Muhammadiyah menggunakan matahari sebagai simbol mereka. Mengutip laman Universitas Muhammadiyah Kotabumi, alasan menjadikan matahari sebagai lambang karena Kiai Ahmad Dahlan ingin Muhammadiyah bisa menjadi organiasi yang menyinari atau mencerahkan hati dan pikiran masyarakat di mana saja dengan ajaran-ajaran Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Tapi lambang matahari yang menyinari hati dan pikiran masyarakat tercoreng, setidaknya setelah Muhammadiyah akhirnya mengikuti jejak NU menerima konsesi tambang.
Ketua Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam di Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Wahyu Perdana mengatakan, sikap ini berpotensi sebagai risywah atau suap politik. Itu karena dalam lima tahun ke depan hampir dipastikan tidak ada suara kritis lembaganya terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Sejak gonjang-ganjing jajaran pimpinan PP Muhammadiyah ingin agar lembaga ini mengikuti jejak NU, Wahyu sudah mengajukan keberatan dengan membuat laporan berjudul Kertas Kebijakan LHKP PP Muhammadiyah.
Ia menjabarkan bagaimana penerimaan izin usaha pertambangan bisa menimbulkan dampak hukum yang berat bagi organisasi dan pimpinannya.
Risiko lingkungan juga menjadi salah satu kekhawatiran utama mengingat industri ekstraktif pertambangan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana lingkungan. Termasuk potensi konflik dan pelanggaran hak asasi manusia. Karena itulah, ia sebenarnya berharap Muhammadiyah berani menolak tawaran konsesi tambang.
"Jadi buat saya ini akan menjadi ujian integritas. Karena kalau mau berbisnis apa pun konteksnya yang dikelola organisasi, enggak harus menunggu menggunakan pemberian politik pemerintah. Ikuti saja prosedur yang sudah ada," ujar Wahyu Perdana.
Kemarahan yang Wajar
Setelah kabar Muhammadiyah akhirnya menerima izin pengelolaan tambang, sejumlah masyarakat melontarkan kritik. Di Yogyakarta, demonstrasi dilakukan sebagai wujud kekecewaan keputusan ini.
Menurut Indonesia Team Lead Interim 350.org, Firdaus Cahyadi, wajar jika umat Islam dan seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki kesadaran ekologi kecewa terhadap elite Muhammadiyah karena telah memilih menjerumuskan organisasi tersebut mengelola industri kotor batu bara.
Alih-alih batu bara, Firdaus mempertanyakan mengapa Muhammadiyah tidak memilih mengelola energi surya, seperti simbol organisasinya.
“Muhammadiyah memiliki kader-kader yang cerdas. Mereka pasti mengetahui bahwa industri batu bara bukan hanya membuat kerusakan di muka bumi, namun juga tidak memiliki masa depan secara ekonomi,” ujar Firdaus dalam keterangan yang diterima VOI.
“Bank-bank internasional sudah tidak mau lagi mendanai bisnis batu bara, beberapa bank di Indonesia pun sudah mulai membatasi pendanaan ke batu bara,” lanjutnya.
Bagi Firdaus, keputusan Muhammadiyah mengelola tambang batu bara adalah sebuah ironi. Ia menerangkan, berdasarkan penelitian Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan 350.org Indonesia, energi terbarukan berbasis komunitas mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang.
“Dari sisi ketenagakerjaan, terdapat peluang kesempatan kerja sebesar 96 juta orang di berbagai sektor tidak sebatas pada energi, namun industri pengolahan dan perdagangan juga ikut terungkit,” ucap Firdaus.
“Elite organisasi keagamaan yang diharapkan mampu menjadi cahaya di tengah kegelapan justru mematikan cahayanya sendiri dengan menjerumuskan organisasi dalam kubangan batu bara,” ujar Firdaus lagi.