JAKARTA – Harapan keterwakilan perempuan di Refugee Team atau Tim Olimpiade Pengungsi meningkat tidak terjadi Olimpiade Paris 2024. Padahal, jumlah pengungsi di seluruh dunia didominasi perempuan. Michelle Donnelly menyebut International Olympic Committee (IOC) tidak memenuhi komitmen mereka terhadap kesetaraan gender.
Keterwakilan perempuan di Tim Olimpiade Pengungsi terus menurun sejak tim ini pertama kali tampil di Rio 2016. Di edisi pertama, sebanyak dua atlet perempuan tampil dari total enam atlet di tim pengungsi. Kemudian pada Olimpiade Tokyo 2020, tim pengungsi memiliki 19 atlet, 10 di antaranya perempuan atau sebanyak 52 persen.
Tahun ini hanya ada 13 atlet perempuan atau sebanyak 38 persen dari total 37 atlet yang akan mewakili Tim Olimpiade Pengungsi Paris 2024. Padahal dengan jumlah pengungsi yang terus bertambah setiap tahunnya, keterwakilan perempuan di Tim Pengungsi Olimpiade diharapkan juga ikut menanjak.
Menurut lembaga amal Women for Women International, pengungsi perempuan tidak hanya menghadapi kemiskinan dan masalah lain yang umum dihadapi seluruh pengungsi, tapi juga harus mendapatkan lapisan penindasan akibat diskriminasi gender.
Mereka, para perempuan di pengungsian kebanyakan memilih bekerja sebagai pekerja rumah tangga yang tidak dibayar, entah itu mengasuh anak, merawat kerabat yang lebih tua, atau memasak, demikian dituturkan Rachel Williams, manajer kebijakan dan urusan masyarakat di lembaga amal Women in Sport.
“Kami tahu betapa pentingnya visibilitas khususnya bagi anak perempuan yang terlibat dalam olahraga dan inspirasi yang dapat dipetik oleh anak perempuan dengan melihat para perempuan ini unggul dalam olahraga,” imbuh Williams.
Tidak Cukup Wakili Kesetaraan Gender
Jumlah pengungsi mengalami kenaikan tiga kali lipat dalam satu dekade terakhir. Menurut data Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi atau UNHCR ada sebanyak 43,4 juta pengungsi di seluruh dunia per akhir tahun lalu. Lebih dari separuh pengungsi tersebut adalah perempuan dan anak perempuan.
Komite Olimpiade Internasional (IOC) menekankan, Olimpiade Paris 2024 akan menjadi ajang kesetaraan gender pertama dalam sejarah. Tapi kenyataan di lapangan tak sesuai harapan.
Manizha Talash, perempuan 21 tahun asal Afghanistan yang mengungsi di Spanyol akan tampil di cabang olahraga breakdance. Ia menjadi salah satu migran perempuan yang memiliki kisah inspiratif. Nyawa Manizha terancam hanya karena hobinya menari adalah sebuah aktivitas yang dilarang di Afghanistan. Dia mendapat ancaman pembunuhan dari pemerintahan Taliban, sebelum memutuskan untuk mengungsi pada 2021.
Namun kehadiran Manizha Talash dan 12 perempuan lainnya di Tim Olimpiade Pengungsi Paris 2024 dianggap tidak cukup mewakili kesetaraan gender, isu yang terus diperjuangkan di berbagai aspek kehidupan.
Angka 38 persen atlet perempuan dalam tim bukanlah satu-satunya penurunan di Tim Pengungsi, karena Tim Paralimpiade Pengungsi juga hanya memiliki kurang 13 persen atlet perempuan.
Profesor Departemen Manajemen Olahraga di Brock University, Michele Donnelly, mengatakan, “IOC tidak memenuhi komitmen mereka terhadap kesetaraan gender”.
“Menurut saya, ini lebih bersifat simbolis daripada representasi aktual dari permasalahan global,” Donnelly menambahkan.
Meski pihak Women in Sport lebih memilih melihat sisi optimistis dan mengamini hampir 40 persen anggota Tim Olimpiade Pengungsi perempuan, opini berbeda diutarakan Donelly. Menurutnya, keterwakilan perempuan yang kurang dari 40 persen tidaklah cukup untuk mewakili sebuah kesetaraan gender.
“Tempat-tempat di mana IOC memiliki kendali penuh, mereka harus menjadi teladan bagi harapan semua orang, sehingga tim seharusnya memiliki kesetaraan gender,” ucap Donelly.
Mengirim Pesan Harapan
Terbentuknya Tim Olimpiade Pengungsi tidak bisa lepas dari Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2015, yang kala itu mengangat isu krisis pengungsi global. Saat itu ada jutaan orang di dunia mengungsi.
Presiden IOC Thomas Bach kemudian mengumumkan pembentukan Tim Olimpiade Pengungsi pada Maret 2016. Tim ini dibentuk sebagai simbol harapan bagi seluruh pengungsi di dunia guna meningkatkan kesadaran global akan skala krisis migran di Eropa.
“Dengan semangat solidaritas Olimpiade dan dengan kehormatan terbesar, mari kita sambut Tim Olimpiade Pengungsi. Para atlet pengungsi, Anda mengirimkan pesan harapan kepada jutaan pengungsi di seluruh dunia,” kata Bach.
BACA JUGA:
“Anda harus melarikan diri dari negara Anda karena kekerasan, kelaparan, atau hanya karena Anda berbeda. Dalam ranah Olimpiade, kami tak hanya menoleransi keberagaman, tapi kami juga menyambut Anda sebagai pengayaan pada kesatuan dan keberagaman kami,” Bach menambahkan.
Refugee Team melakoni debut mereka di Olimpiade Rio 2016. Sebanyak 10 atlet dari Suriah, Sudan Selatan, Ethiopia, dan Republik Demokratik Kongo muncul di upacara pembukaan di bawah Bendera Olimpiade, tepat sebelum penampilan tuan rumah Brasil. Mereka tampil di tiga cabang olahraga, yaitu atletik, judo, dan renang.
Tim Olimpiade Pengungsi kembali tampil di Tokyo 2020, namun dengan perubahan kode negara dari IOC menjadi EOR yang merupakan singkatan bahasa Prancis, Equipe Olympique des Refugies. Jumlah atlet pengungsi yang terlibat di Tokyo bertambah menjadi 29 atlet terlibat, yang tersebar di 12 cabang olahraga.
Medali Bukan Target Utama
Tim Olimpiade Pengungsi didanai oleh Olympic Solidarity, yang secara finansial mendukung Komte Olimpiade Nasional di seluruh dunia. Komite Olimpiade Nasional inilah yang mengidentifikasi atlet pengungsi yang tinggal di negara mereka dan mendanai mereka selama pelatihan, persiapan, dan partisipasi dalam kompetisi.
Namun, baik Olimpiade Rio 2016 maupun Tokyo 2020, Tim Pengugsi tidak mendapat satu pun medali. Namun, hal tersebut dapat dimaklumi mengingat status dan kondisi sulit yang mereka hadapi. Sejak awal, tujuan besar dibentuknya Refugee Team bukanlah koleksi medali.
Muna Dahouk, pengungsi Suriah yang sekarang tinggal di Belanda, mengatakan ingin menggunakan platformnya sebagai atlet pengungsi untuk mematahkan stereotip dan tantangan mengenai pengunsi.
Dahouk melarikan diri dari Suriah pada 2019. Setibanya di Belanda, ia mengatakan bahwa ikut kompetisi judo adalah hal terakhir yang dipikirkannya. Ia kemudian lolos untuk tampil di Olimpiade Tokyo.
“Saya akan mewakili para pengungsi di seluruh dunia, untuk menunjukkan kepada masyarakat apa yang bisa dilakukan para pengungsi. Kami bukan orang lemah,” ucap Dahouk, mengutip CBS News.
“Kami bisa menjadi atlet, kami bisa menjadi pelajar, kami bisa menjadi apa pun yang kami inginkan,” sambungnya.