Bagikan:

JAKARTA – Indonesia, yang telah merdeka selama 79 tahun, kini untuk pertama kalinya memberlakukan cukai pada makanan olahan dan siap saji. Kebijakan ini diatur dalam Pasal 194 PP Kesehatan No. 28 Tahun 2024, sesuai dengan UU RI No. 17 Tahun 2023. Cukai ini diterapkan secara menyeluruh, mulai dari restoran besar hingga pedagang kaki lima, dan semakin menambah beban biaya non-produktif yang harus ditanggung oleh pelaku usaha kuliner di Indonesia. Selain retribusi daerah, pungutan liar, dan beban ekonomi digital, kebijakan ini dipastikan akan membuat harga makanan melambung tinggi.

Menurut dr. Ali Mahsun Atmo, M. Biomed, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), kebijakan ini bisa menjadi "karpet merah" bagi masuknya kuliner asing ke Indonesia, seperti yang terjadi pada sektor garmen dan fashion. "Kita tidak bisa menyalahkan bangsa atau negara asing jika kuliner mereka menyerbu Indonesia. Apakah Pasal 194 PP Kesehatan ini memang disiapkan untuk memudahkan kuliner asing masuk?" tegas dr. Ali di Jakarta pada Senin 12 Agustus.

Sebagai ahli kekebalan tubuh lulusan FK Unibraw Malang dan FKUI Jakarta, dr. Ali menambahkan bahwa tujuan pencegahan penyakit menular (PTM) melalui pengendalian kandungan gula, garam, dan lemak dalam makanan tidak ada kaitannya dengan penerapan cukai pada makanan olahan dan siap saji. Menurutnya, cukai tidak dapat mengatur atau mempengaruhi perilaku makan masyarakat. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam promosi dan pencegahan kesehatan melalui lembaga negara dan diseminasi informasi kesehatan yang belum optimal, tidak seharusnya dijadikan alasan untuk mengenakan cukai ini. "Apakah Indonesia sedang menyiapkan diri untuk diserbu kuliner asing? Akankah nasib usaha kuliner Indonesia berakhir seperti sektor garmen dan fashion, yang kalah bersaing di negeri sendiri?" tambah dr. Ali.

Lebih lanjut, dr. Ali menyoroti bahwa kebijakan cukai ini semakin memperburuk daya beli masyarakat yang sudah menurun, serta memberatkan pelaku usaha kuliner di Indonesia. "Alih-alih menyehatkan bangsa, kebijakan ini justru menambah beban ekonomi dan risiko kesehatan akibat menurunnya mata pencaharian rakyat Indonesia," pungkas dr. Ali, yang juga Ketua Umum APKLI Perjuangan dan Presiden Kawulo Alit Indonesia.