Banyak alternatif karier bisa dipilih setelah purnatugas dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Jenderal (Purn) Andika Perkasa memilih pentas politik sebagai karier kedua. Dia punya alasan kuat mengapa memilih politik, bukan bisnis atau kesibukan lainnya. Kepada VOI ia bicara blak-blakan mengapa memilih politik. Ia juga bicara tentang dirinya yang disebut-sebut sebagai kandidat Wakil Presiden yang akan mendampingi calon presiden Ganjar Pranowo yang diusung PDI Perjuangan.
***
Di antara sekian banyak pilihan, Andika Perkasa mantap memilih ranah politik sebagai ladang pengabdian berikutnya setelah empat dasawarsa mengabdi sebagai anggota TNI. “Karena pengalaman saya di situ. Saya 40 tahun jadi birokrat di TNI. Latar belakang pendidikan saya pun dalam bidang pemerintahan, public policy (kebijakan publik), dan public administration (administrasi publik), khususnya dalam bidang keamanan nasional. Menurut saya akan lebih cocok kalau saya bekerja dalam bidang yang sudah saya tekuni dan punya pengalaman dan pengetahuan selama ini,” jelasnya.
Nama Andika Perkasa bergaung sebagai salah satu kandidat yang akan mendampingi capres Ganjar Pranowo yang sudah lebih dulu dideklarasikan oleh Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Seperti diberitakan media ini sebelumnya, ada nama-nama yang sudah masuk dalam pantauan radar PDIP yaitu Sandiaga Uno (Menparekrat), Muhaimin Iskandar (Wakil Ketua DPR dan Ketum PKB). Selain itu ada juga nama-nama yang sudah didekati Puan Maharani untuk dibidik menjadi pendamping pria berambut putih yang masih berstatus sebagai Gubernur Jawa Tengah adalah Mahfud MD (Menko Polhukam), Erick Thohir (Menteri BUMN), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), dan Agus Harimurti Yudhoyono (Ketum Partai Demokrat).
Sampai saat ini Megawati Soekarnoputri dan juga Puan Maharani belum mengumumkan siapa yang akan mendampingi Ganjar Pranowo. Karena itu saat ditanya soal ini Andika tak mau berspekulasi. Ia tampaknya paham benar tradisi di partai berlambang kepala banteng dalam lingkaran itu. Penentu akhir adalah Ibu Ketua Umum. “Hehehe, kalau itu bukan saya yang menjawab,” katanya dengan tawa yang khas.
Andika Perkasa mengaku tak punya ambisi saat mengawali karier keduanya di pentas politik. Kini dia sudah menetapkan pilihan, memilih PDIP sebagai wadah untuk berkiprah di pentas politik. Di tempatkan di posisi apa pun dia siap menjalankan tugas yang diembankan kepadanya. Ia juga bicara soal politik nasional, geopolitik global, bagaimana membina hubungan dengan Amerika, China dan negara lainnya, soal potensi ekonomi Indonesia, serta peluang Indonesia untuk mensejajarkan diri dengan bangsa lain. Kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos, dan Irfan Medianto Andika Perkasa yang didampingi Hetty Andika Perkasa, ia mengungkapkan idenya saat berkunjung ke kantor VOI di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat, 1 Agustus lalu. Inilah petikannya.
Apa perbedaan yang dirasakan setelah purnatugas dari TNI?
Perbedaannya banyak, khususnya soal beban. Saat masih dinas, kita dihadapkan dengan target dan masalah yang harus segera direspons. Sekarang semua itu hilang. Perbedaannya terlihat di wajah ya.
Saat hadir di acara PDIP, sempat tercetus bahwa Anda akan menjadi Ketua Tim Sukses Pemenangan Ganjar Pranowo? Apakah sudah ada planning soal pemenangan?
Saya ini kan baru mulai. Saya memang ingin masuk dalam pentas politik nasional. Bahwa ada orang yang bisa masuk ke eksekutif tanpa melalui partai politik bisa saja. Saya melalui sistem politik nasional. Eksekutif dipilih berdasarkan hasil pemilihan, dia punya peran untuk terus berhubungan dengan perwakilan parpol yang ada di DPR sebagai pengawas. Tahun 2024 saya sangat excited karena baru pertama kali akan memberikan suara saya setelah 59 tahun usia.
Mengapa memilih PDIP? Bukan PKPI di mana mertua dan adik ipar Anda pernah menjadi Ketua Umum?
Itu kan cocok-cocokan, semua parpol memiliki dasar hukum yang sama, sehingga tujuan mereka relatif sama. Tapi memang ada yang sehari-hari dalam implementasinya lebih pas dengan saya.
Sebagai mantan Panglima TNI, Anda sangat mumpuni, dan banyak juga parpol yang melirik. Anda disebut-sebut sebagai Calon Wakil Presiden pendamping Ganjar Pranowo, komentar Anda?
Itu kan belum (diumumkan) resmi, saya sangat sadar terjun ke politik itu bukan targetnya untuk dapat posisi tertentu. Sejak awal saya ingin memberikan suara saya dan ingin menjadi bagian sistem politik nasional. Terlepas dari peran apa yang akan saya dapatkan, jadi enggak ada beban sama sekali.
Ada banyak pilihan setelah purnatugas, kenapa tidak terjun ke dunia bisnis tapi ke pentas politik?
Karena pengalaman saya di situ. Saya 40 tahun jadi birokrat di TNI. Latar belakang pendidikan saya pun juga dalam bidang pemerintahan, Public Policy, dan Public Administration, khususnya dalam bidang keamanan nasional. Menurut saya akan lebih cocok kalau saya bekerja dalam bidang yang sudah saya tekuni dan punya pengalaman dan pengetahuan selama ini. Di bisnis sebenarnya bisa juga. Seperti sekarang saya bekerja menjadi komisaris untuk sebuah perusahaan swasta.
Apakah ada target tertentu untuk bidang politik ini?
Sama sekali tidak ada target, ini adalah second career saya setelah sebelumnya di militer sudah 40 tahun. Pada karier kedua ini saya melihatnya juga untuk jangka yang panjang. Ini adalah awal perjalanan karier kedua saya.
Apa pandangan Anda pada dunia politik kita sekarang ini?
Saya memang belum pernah mengalami dinamika dunia politik. Namun yang saya geluti selama ini adalah masalah-masalah nasional. Itu yang saya lakukan selama bertugas di TNI, persoalan yang sama yang harus kami ikuti, kami respons perkembangannya.
Apa yang dalam penilaian Anda yang paling krusial?
Yang paling krusial bagaimana kita memelihara, karena banyak pemain baik politisi maupun non-politis di pentas politik kita. Itulah yang harus kita hadapi bersama agar perbedaan cita-cita dan tujuan dan cara mencapainya jangan sampai kita harus reset (set ulang). Itu yang menurut saya berisiko dan mahal harganya.
Tahun 2019 lalu, polarisasi tengah masyarakat jelang pemilu sangat terlihat, bagaimana Anda melihatnya saat ini?
Sejauh ini saya belum melihat ke arah itu. Karena elit politiknya ikut menjaga, ini yang harus dilakukan terus. Karena begitu polarisasi akan terjadi pertentangan di bawah yang membuat pemerintahan ini terganggu. Menurut saya bukan soal siapa yang memerintah, pemerintahan ini tak akan berjalan tanpa didukung oleh rakyat. Pemerintah ini berat sekali harus menghadapi tekanan internal dan eksternal, namun kita harus tetap menjaga kondusivitas iklim investasi.
Sementara keberadaan sosial media saat ini justru memperbesar polarisasi. Pengguna aktif sosial media jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2019. Sekarang ini milenial dan generasi Z lebih banyak. Saat menggunakan sosmed orang berebut perhatian. Ini yang saya sebut potensi polarisasi itu makin besar, soalnya ada yang sudah matang ada yang belum. Kadang saat berkomunikasi di sosial media semaunya saja.
Faktor eksternal yang kita ketahui ada dua kutub besar saat ini, Amerika dan sekutunya, dan China. Bagaimana Anda melihat kondisi ini?
Ini memang tak bisa kita hindari, sekarang ada dua negara super power. Soal Ukraina dan Rusia saja, dampaknya kita rasakan, padahal secara geografis kita jauh dengan kedua negara itu. Secara langsung perdagangan kita dengan kedua negara itu tak terlalu besar. Soalnya dunia ini sudah terhubung, kita tak mungkin bisa berdiri sendiri. Bahkan Amerika dengan ekonomi terbesar di dunia dan China dengan ekonomi kedua terbesar saja tak bisa berdiri sendiri.
Perang Rusia dan Ukraina membuat Eropa terganggu pasokan gas dari Rusia. Ukraina adalah penghasil pertanian yang besar. Sehingga suplai dari dua negara ini terhambat. Permintaan dari seluruh dunia jumlahnya tetap, sedangkan suplai kurang, akhirnya terjadi inflasi. Itu yang membuat harga energi naik 3 kali lipat, sedangkan non-energi naik 1,5 kali lipat. Kita belum tahu kapan perang akan berakhir, yang ada sekarang tambah parah.
China dan Amerika posisinya terhadap perekonomian kita amat penting, 28 persen ekspor kita ke China, nomor dua ke Amerika (9,7 persen). Kalau China dan Amerika konflik, mereka akan spending dana untuk mendukung konflik tadi, permintaan akan barang dari Indonesia akan berkurang, jadi kita mengalami masalah. Investasi asing juga dari China (terbesar nomor 2).
Dengan kompleksnya masalah, ke depan pemimpin Indonesia seperti apa yang bisa mengatasi semua ini?
Pemimpin kita harus memahami geopolitik, apalagi potensi ketegangan di Laut China Selatan antara Amerika dan China bisa tersulut. Presiden Jokowi sudah melakukan pendekatan dengan menambah ekspor dan membentuk regional economic partnership. Jadi ketika konflik terjadi di salah satu wilayah, kita masih ada celah yang lain. Jadi kita tidak bergantung pada satu negara saja. Itulah yang terjadi pada Jerman yang aman terguncang dengan konflik Rusia-Ukraina.
China dan Amerika masing-masing berupaya menanamkan pengaruhnya di Indonesia, bagaimana Anda bersikap di antara dua kekuatan ini?
Sekali lagi, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang bisa mandiri, semua terhubung dan saling ketergantungan satu sama lain. Kita harus menjalin hubungan dengan semua negara, termasuk dua negara ini, China dan Amerika, kita pasti perlu. Jadi bukan harus memilih, tapi kita harus tahu di mana porsi kita.
Sekarang ada 3 calon presiden yang dideklarasikan, mengapa ada lebih condong ke Ganjar Pranowo?
Ini soal yang klik dengan hati saja, yang ada chemistry. Tapi saya bisa bekerja dengan siapa saja. Pilpres itu kan cuma ajang untuk memilih presiden, setelah terpilih tidak menutup kemungkinan mereka (capres dan cawapres) akan bekerjasama lagi. Dengan Mas Anies Baswedan saya pernah bertemu dan bekerja sama dalam menangani COVID-19. Dengan Pak Prabowo Subianto dari dulu saya sudah dalam satu korps yang sama. Dengan Mas Ganjar sejak dulu saya juga sudah berhubungan baik, terutama sejak banyak ke Jawa Tengah. Jadi ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata soal klik dengan Mas Ganjar Pranowo.
Pandangan Anda pada ketiga Capres ini seperti apa?
Mereka semua punya prestasi, karena semua ada di pemerintahan, jadi lebih mudah melihatnya. Pencapaian yang diraih Presiden Jokowi juga disumbang oleh Ganjar Pranowo yang memimpin selama dua periode di Jawa Tengah. Begitu juga dengan Mas Anies Baswedan, periode pertama sempat jadi Menteri Pendidikan, lalu menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pencapaian yang dia raih juga mendukung pencapaian Presiden Jokowi. Dan Pak Prabowo juga selama 4 tahun terakhir menjadi salah seorang menteri dalam kabinet Presiden Jokowi. Keberhasilannya juga menyumbang untuk pencapaian Presiden Jokowi. Mereka semua berpengalaman dan punya reputasi. Siapa pun yang nanti akan terpilih, pasti akan membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Jadi ini ujungnya timses atau cawapres?
Hehehe, kalau itu bukan saya yang menjawab.
Kalau diberi kesempatan memimpin Indonesia, bagaimana pandangan Anda untuk Indonesia ke depan?
Indonesia itu banyak potensinya, dari sisi penduduk saja kita nomor empat terbesar di dunia. Spending masyarakat cukup signifikan untuk perekonomian, itu bisa 54 persen lebih. Soal investasi, setiap presiden yang memimpin selalu berupaya meningkatkan jumlah investasi yang masuk. Kita harus iri dengan Singapura yang menjadi tujuan investasi nomor empat terbesar di dunia. Pertama Amerika, kedua China, dan ketiga Hong Kong. Kita berada di wilayah yang sama dengan Singapura, kalau mereka bisa, kita juga harus bisa.
Mengapa Singapura bisa, sedangkan kita belum bisa?
Memang harus banyak yang diperbaiki. Singapura itu global competitive Index-nya nomor dua di dunia, nomor satu Amerika. Ada 12 indikator yang dinilai, antara lain institusi, stabilitas makro ekonomi, kecukupan infrastruktur, kualitas SDM (pendidikan), kesehatan masyarakat, pasar tenaga kerja, efisiensi dari tenaga kerja, efisiensi dari good market. Ini saya kira sudah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin di Indonesia selama ini.
BACA JUGA:
Anda optimis Indonesia bisa?
Pasti bisa, saya yakin bisa. Kita harus mengejar semua sektor yang saya paparkan tadi. Misalnya dalam bidang pendidikan, rata-rata pendidikan di Indonesia itu baru 8,6 tahun, tidak sampai 9 tahun. Kita harus tambah ini dengan menambah guru, sekolah, dan sebagainya. Di era sekarang, keberadaan sekolah tidak harus dalam bentuk fisik, dengan perkembangan teknologi AI (artificial intelligence), kita amat terbantu. Jadi tak perlu tatap muka di kelas. Yang penting jaringan internet dan kuota internet harus tersedia. Peluang kita untuk mengejar ketertinggalan itu besar. Itu dalam bidang pendidikan, dalam bidang kesehatan sudah ada telemedicine.
Saat menjadi Panglima TNI, ada beberapa kebijakan yang dinilai kontroversial, salah satunya adalah Anda membolehkan keturunan PKI untuk mendaftar menjadi anggota TNI, bagaimana menjelaskan hal ini kepada publik?
Sebetulnya itu sudah diatur UU, tidak ada yang melarang keturunan PKI untuk menjadi anggota TNI atau PNS. Saya tidak membuat kebijakan baru. Saya hanya menegakkan (aturan) saja. Bahwa sebelumnya tidak dilakukan itu bukan salah saya. Saya ingin mengembalikan, apa yang menjadi hak masyarakat Indonesia harus diberikan. Kalau ada yang punya catatan kriminal itu baru tidak boleh masuk jadi calon anggota TNI. Kalau kakek mereka dulu pernah terlibat PKI, kita tidak bisa menghakimi cucunya.
Saat mengambil keputusan membolehkan keturunan PKI masuk TNI apakah sudah memikirkan kalau hal itu akan dipolitisasi terutama jelang pemilu?
Saya berpegang pada aturan saja, Tap MPRS No 25 tahun 1966 itu melarang 1. PKI sebagai organisasi terlarang. 2. Melarang penyebaran faham Marxisme dan Leninisme. Sampai saat ini kita masih punya hubungan diplomatik pada negara-negara yang menjadikan faham itu sebagai ideologi negara, seperti China, Rusia, Ukraina. Jadi kalau ada yang mengangkat masalah itu lagi, konteksnya apa? China sekarang sudah kapitalis sekali.
Pemerintah mengakui telah terjadi pelanggaran HAM Berat dalam 12 kasus, termasuk peristiwa 1965-1966, bagaimana pandangan Anda pada hal ini?
Itu sebagai sebuah pelanggaran HAM yang dinyatakan oleh Komnas HAM. Itu sebagai bagian dari sejarah Indonesia. Kita tunggu saja penyelesaiannya.
Selama menjadi Panglima TNI, Anda jarang membawa tongkat komando, bisa diceritakan mengapa demikian?
Sebetulnya aturannya tidak ada harus selalu bawa tongkat komando, kecuali saat upacara. Pendapat saya fleksibel saja, kalau dibutuhkan bawa, kalau tidak, tidak harus juga.
Anda juga termasuk yang amat detail memerhatikan perumahan prajurit, desainnya terlihat mewah, bisa diceritakan mengapa begitu?
Soal mewah itu bicara desainnya, kalau materialnya tidak harus mewah. Misalnya untuk fasad, saya menggunakan batu candi dan batu palimanan, itu bukan sesuatu yang mahal. Finishing-nya juga tidak glossy. Jadi itu ada kreativitas, dengan material yang biasa bisa indah.
Tak hanya perumahan, tapi juga seragam Anda perhatikan?
Ya memang harus begitu. Saya memang orangnya detail, sepatu dan seragam harus yang terbaik. Sepatu misalnya, diperhatikan solnya, materialnya agar kedap air, talinya, dll. Semua saya ambil dari teknologi yang sudah ada di pasar. Kalau orang bisa buat kenapa kita tidak bisa buat.
Soal sosial media juga Anda perhatikan, setelah purnatugas juga masih dipertahankan, pesan apa yang ingin disampaikan kepada publik?
Tugas saya adalah membangun image TNI yang bagus, karena itu apa yang dilakukan harus disebarkan kepada publik. Selain itu ada juga kegiatan istri saya, Hetty, yang mendampingi saya. Sampai sekarang kok masih dipertahankan karena saya tetap ada aktivitas. Tidak ada salahnya kalau publik tahu. Tujannya bukan untuk pamer, kami ingin sharing saja.
Andika Perkasa dan Hetty, Siapa yang Lebih Romantis?
Kalau ada pasangan pejabat publik yang begitu berani menunjukkan kemesraan dalam berbagai kesempatan, Jenderal (Purn) Muhammad Andika Perkasa dan Diah Erwiany Trisnamurti Hendrati Hendropriyono yang biasa disapa Hetty termasuk salah satunya. Sikap yang paling ikonik dari keduanya adalah berpegangan tangan saat hadir nyaris di setiap acara baik kedinasan maupun informal, dan setelah purnatugas juga demikian. Tahukan Anda di antara kedua insan ini siapa yang paling romantis? Sejak kapan mereka bersikap mesra dan romantis?
Sikap yang mereka perlihatkan ini tanpa mereka sadari mendapat perhatian banyak orang, bukan hanya prajurit TNI namun juga masyarakat di luar TNI yang sempat menyaksikan momen mereka bergandengan tangan diabadikan dalam bentuk foto dan rekaman video. "Kita rasanya biasa-biasa saja loh, sama seperti saat saya pertama kali mengenal Mas Andika, sampai sekarang sama saja," kata Hetty yang mengambil inisiatif menjawab pertanyaan. "Apa ada yang berubah dari saya?" kata Hetty sembari melirik mesra suami tercinta.
Kenangan Andika melayang setelah keduanya menikah di tahun 1992. "Dari awal saya sudah bersikap mesra. Tapi saya tentu bisa salah ya. Setelah tiga tahun menikah saya pernah dikirimi foto oleh sahabat kami, itu posenya gandengan tangan juga. Jadi memang sudah lama sekali itu kami lakukan," katanya.
Andika dan Hetty kompak menjawab saat ditanya inspirasi dari perilaku mesra ini, ternyata itu muncul dari diri mereka masing-masing. "Tidak ada yang menginspirasi kami, ini adalah ekspresi sayang saya pada Mas Andika. Dan juga sebaliknya," timpal Hetty.
Salah satu yang melatari Andika bersikap mesra pada sang istri diakuinya adalah rasa syukur pada Yang Maha Kuasa atas karunia yang sudah diberikan. "Saya sudah banyak bercerita kalau saya itu mengalami trauma masa kecil. Itu yang membantu saya untuk jangan sampai tidak mensyukuri apa yang sudah diterima. Soalnya kalau tidak disyukuri yang bisa jadi korban adalah anak-anak," kata Andika dan Hetty yang sudah dikarunia tiga anak; Alexander Wiratama Perkasa, Angela Nurrina Perkasa, dan Andrew Malik Perkasa.
Ada juga teman Angela yang kebetulan main ke rumah, dan menyaksikan kemesraan Andika dan Hetty. "Temannya Angela itu bertanya apakah yang dia lihat itu adalah keseharian yang kami lakukan. Angela, bilang begitulah. Biasa saja yang dilakukan mama dan daddy-nya," ungkap Andika.
Meski dalam pandangan banyak orang Andika dan Hetty adalah pasangan yang romantis. Ternyata bagi Hetty suaminya itu tidak termasuk pria yang romantis. Kok bisa begitu? "Orang kan melihatnya kami itu seringnya gandengan tangan. Menurut saya Mas Andika ini bukan tipe orang yang romantis, dia biasa saja. Dia tidak pernah kasih bunga dan tak pernah juga mengajak makan malam romantis saat momen khusus," ungkap Hetty.
Mereka memang tak perlu lagi merayakan momen khusus seperti ulang tahun atau ulang tahun pernikahan dengan candlelight dinner, karena dua sejoli ini sudah melakukan makan bersama nyaris setiap hari kalau Andika sedang tidak tugas di luar kota. "Untuk makan malam kami selalu berdua," lanjut Hetty.
Malah, ungkap Andika, di awal pernikahan dia sering marah-marah pada Hetty. Apa yang menyebabkan kemarahan itu? "Dia waktu masih remaja sering main, setelah menikah kebiasaan itu belum berubah. Saat saya pulang kantor kok dia belum pulang. Sekali, dua kali terjadi. Saat yang ketiga kali saya tegur dia. Saya ingin kalau saya pulang kamu sudah ada di rumah," tegas Andika.
"Sejak itu saya berubah. Kalau Mas Andika mau pergi saya yang antar dia, dan saat dia pulang saya yang harus jemput juga di depan pintu. Apa pun kegiatan saya di luar rumah harus selesai saat Mas Andika mau pulang. Soalnya saya yang harus bukakan pintu buat dia. Kebiasaan itu terus terjadi sampai sekarang," ungkap Hetty. "Artinya saya dong yang romantis, hehehe," sambungnya sembari tertawa.
Menurut Andika, setelah purnatugas ia juga melakukan apa yang telah dilakukan Hetty selama ini melepas dirinya saat hendak bertugas. "Kalau dulu Hetty yang selalu antar saya ketika hendak ke kantor atau tugas, sekarang saya melakukan hal yang sama pada anak-anak. Saya yang say bye pada mereka, mengantar ke depan pintu. Saat anak-anak pulang saya biasakan menyapa mereka. Dulu saat masih tugas mana bisa dilakukan," akunya.
Pandangan Pertama
Boleh percaya boleh tidak, ternyata Andika Perkasa sudah jatuh hati saat pertama kali melihat Hetty. Dan sebaliknya Hetty juga demikian. Namun untuk mengatakan perasaan hati itu tak punya keberanian.
"Kami itu tidak ada pendekatan atau pacaran. Kami pacarannya setelah resmi menikah," kata Hetty. Keduanya dijodohkan oleh sang ayah AM. Hendropriyono. Perjodohan itu lancar karena sejak awal tanpa disadari masing-masing sudah tertarik pada pandangan pertama.
"Ketertarikan saya pada Hetty itu memang sudah ada sejak pertama bertemu. Saya lihat ada yang spesial dari wanita yang saya lihat itu. Jujur tertarik tapi tak berani mengatakan ketertarikan itu," akui Andika. "Saya juga naksir saat pertama kali bertemu Mas Andika, tapi mau bilang suka itu engga berani," timpal Hetty yang kini usia pernikahannya sudah 31 tahun.
Jadi rasa klik atau chemistry itu timbul menurut Andika tidak harus didahului dengan perkenalan atau pacaran dalam konteks hubungannya dengan Hetty. Dia merefleksikan hubungannya dengan Hetty di awal dahulu kurang lebih sama dengan apa yang terjadi pada Ganjar Pranowo. Meski belum kenal jauh, namun sudah bisa klik atau ada chemistry.
Ada pengalaman unik yang dialami anak pertamanya Alex. "Dia mengenal daddy nya hanya lewat foto. Ketika akan jemput di Halim dia sudah tahu daddynya baju dinas dan baret merah. Ternyata semua yang turun berbaret merah, satu yang turun bukan, sampai habis semuanya sama. Saat daddy nya memeluk, ia yang malu. Dia takut dan bingung dengan orang yang memeluknya. Itu momen yang amat mengharuhkan," kata Hetty.
Gaya Hidup dan Mendidik Anak
Andika Perkasa dan Hetty adalah dua pribadi yang amat berbeda. Andika amat disiplin dan Hetty sebaliknya. Sampai akhirnya Hetty menderita Hepatitis C tahun 2012 dan setahun kemudian ada gejala stroke. "Sejak itu saya yang mengontrol, stop semuanya. Tidak boleh pergi sama sekali. Kalau keluar itu membuat makan dan istirahat tak teratur. Makan saya kontrol, harus yang sehat," ungkap Andika.
Selain mengatur pola makan, Hetty juga mengimbangi dengan olahraga body combat, Muaythai, dan dansa. "Kalau Mas Andika nge-gym, saya engga ikut yang begitu," kata Hetty yang suka membelikan busana bergambar superhero untuk suaminya.
Soal nge-gym dan membentuk otot, diakui Andika dilakukan setelah ia berlatih bela diri. "Kalau bela diri lebih ke latihan gerakan. Untuk penguatan otot tetap harus berlatih di gym atau latihan cardio," kata Andika yang menerapkan disiplin berolahraga pada Alex dan Andrew, sementara Angela masih belum bisa disiplin.
Soal anak-anak, kata Andika, dia pada dasarnya membantu anaknya menciutkan pilihan cita-cita, namun setelah diarahkan mereka tetap punya pilihan sendiri dan mereka tidak dipaksa. "Sejak SMP kami sudah membantu mereka untuk menciutkan pilihan profesi masa depannya. Ketika makan malam kami sharing. Dari situ diskusi dengan anak-anak. Apakah ingin bisnis atau jadi apa. Saya juga cerita banyak soal TNI. Dan kami tidak pernah larang anak untuk masuk," kata Andika menekankan kepada anak-anak harus bertanggung jawab atas pilihannya.
Andika sama sekali tidak memaksakan kehendak. "Selama proses itu mereka sudah yakin dengan pilihannya yang sudah. Kita support atas pilihannya itu," kata Andika. Anak pertama dan keduanya memilih menjadi dokter.
Hetty juga demikian. "Saya pengen banget ada anak yang jadi tentara. Alex dan Angela enggak. Harapannya pada Andrew. Eh ternyata dia juga engga. Akhirnya saya mengalah," akui Hetty.
Bagi Andika, profesi apa pun yang dilakoni akanya bisa menjadi jembatan untuk sukses. Seperti halnya dirinya. "Saya dulu tak ada rencana mau masuk TNI, maunya arsitek. Tapi di tengah jalan berubah haluan karena keadaan. Dan akhirnya masuk TNI dan karier saya bisa sampai di puncak juga di TNI," ujar Andika.
Andika Perkasa punya pesan kepada anak muda. "Anak-anak sekarang sudah dibanjiri dengan media sosial dan informasi. Kondisi ini membuat kesulitan untuk fokus, nasihat saya harus tetap fokus meski sudah ditemani dengan teknologi yang canggih. Dan harus tetap bersosialisasi secara langsung minimal dengan orang tua dan saudara. Harus jujur dengan keluarga. Ini bisa mengimbangi hubungan dengan teman-teman di medsos," ujar Andika. "Kalau dari saya, anak muda sekarang harus terus berkarya dengan hati. Namun harus tetap hati-hati," tukas Hetty.
"Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang bisa mandiri, semua terhubung dan saling ketergantungan satu sama lain. Kita harus menjalin hubungan dengan semua negara, termasuk dua negara ini, China dan Amerika, kita pasti perlu. Jadi bukan harus memilih, tapi kita harus tahu di mana porsi kita,"