Eksklusif, Roy Nicholas Mandey: Ritel Moderen Dibutuhkan tapi Belum Jadi Sektor Prioritas   
Roy Nicholas Mandey. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagikan:

Ada tiga pemain utama dalam dunia perdagangan barang, sektor hulu (produsen), sektor antara (distributor) dan sektor hilir (ritel). Menurut Roy Nicholas Mandey selaku Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) fungsi ritel modern amat strategis, tak hanya menjadi ujung tombak penjualan kepada konsumen, tapi bisa menjaga ketersediaan barang, menyerap tenaga kerja, menjaga fluktuasi inflasi, dan sumber fiskal negara. Namun sayang meski berperan penting, ritel modern belum masuk ke sektor prioritas.

***

Ia berharap ritel modern bisa masuk sektor prioritas seperti; ketahanan pangan, kesehatan, energi, telekomunikasi, dan pariwisata. Sektor-sektor tersebut mendapat perhatian di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi yang perlu diselamatkan. Ritel juga harus diselamatkan seperti sektor prioritas lainnya.

Menurut Roy ada dua katagori anggotanya yang menjalankan usaha ritel saat ini. Pertama pengusaha yang murni menjalankan usaha ritel tanpa ada usaha lain. Kedua yang punya usaha lain selain ritel, seperti properti, perbankan, dan sektor-sektor lainnya. Untuk yang pertama daya tahannya relatif lemah dibandingkan dengan yang kedua. “Soalnya untuk yang kedua bisa dilakukan subsidi silang dengan bidang usaha lain dalam satu group company,” ujar pria yang menjadi alumni Universitas Jayabaya ini.

Berbagai peran strategis yang ada pada ritel modern membuat Roy merasa perlu menyampaikan, kalau sektor ritel modern juga perlu masuk prioritas. “Satu poin utama ritel modern adalah perannya sebagai penjaga ketika harga naik atau turun. Ritel modern bisa menjaga fluktuasi inflasi. Kalau pasar tradisional atau pasar rakyat tidak bisa terkontrol,” ujarnya. Karena hal penting itulah ritel modern perlu didukung agar bertahan dan bisa menjalankan peran itu.

Apalagi Aprindo yang berdiri sejak tahun 1994 ini memiliki 150 anggota perusahaan ritel lokal maupun jaringan nasional. Dari Sabang hingga Merauke ada 45.000 gerai. Selain kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP), ada 32 DPD (Dewan Pimpinan Daerah) dan 97 DPC (Dewan Pimpinan Cabang) di seluruh Indonesia.

Menurut Roy Nicholas Mandey nasib pengusaha ritel di Indonesia tak berbeda dengan yang ada di negara lain dalam menghadapi pandemi COVID-19. “Semua menghadapi persoalan serupa, pandemi membuat kunjungan orang ke ritel modern menurun, publik juga  membatasi jumlah barang yang dibeli dan jumlah anggaran pengeluaran. Ini jelas berpengaruh pada performa pertumbuhan usaha ritel modern. Kita semua berdoa semoga pandemi melandai dan keadaan makin membaik, sehingga ekonomi bisa pulih kembali,” katanya kepada Edy Suherli, Savic Rabos dan Rifai dari VOI yang menemuinya di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, belum lama berselang. Inilah petikan wawancaranya.

Roy Nicholas Mandey. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Roy Nicholas Mandey. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Arti penting ritel dalam rantai distribusi dari produsen sampai kepada konsumen?

Seperti kita ketahui dalam dunia usaha ada yang disebut sebagai sektor hulu yaitu produsen/manufaktur, kemudian ada yang disebut sebagai sektor antara yang membawa barang-barang hasil produksi dari produsen. Dan yang terakhir adalah sektor hilir yang memperdagangkan barang-barang. Jadi kalau dalam dunia perdagangan itu ada 3 pemain; sektor hulu, sektor antara dan sektor hilir. Bicara ritel modern berarti kita berbicara di sektor hilir,  sektor di mana tempat dilakukannya transaksi antara konsumen/masyarakat dalam membeli kebutuhan pokok sehari-hari.

Artinya apa, begitu strategis sektor hilir ini dalam pertumbuhan ekonomi kita. Produk Domestik Bruto (PDB) kita tahun 2020 itu 57,6 persen. Ini mendominasi  rumusan PDB adalah konsumsi rumah tangga ditambah konsumsi pemerintah, ditambah investasi, ditambah ekspor dan dikurangi impor. Dari sekian faktor pembentuk PDB kita, yang paling dominan tahun 2020 adalah pertumbuhan industri konsumsi rumah tangga yaitu 57,6 persen. Kenapa begitu besar? Sekarang populasi masyarakat kita besar,  274 juta. Berarti setiap hari perlu makan minum dia perlu untuk kebutuhan sehari-hari kebutuhan kehidupannya. 

Yang kedua sektor ritel modern ini banyak penyerapan tenaga kerja. Saat ini hampir sekitar 2,5 juta karyawan,  baik karyawan yang tetap maupun kontrak bekerja di toko-toko ritel modern. Ritel masuk 5 besar penyerap tenaga kerja di Indonesia setelah; pertanian, perkebunan, kehutanan, energi  dan ritel.

Lalu yang ketiga ritel itu adalah tempat untuk ketersediaan barang dan kestabilan harga. Ritel modern yang digerakan korporasi lebih dapat mengatur ketersediaan barang dengan jaringannya. Ini belum tentu bisa disediakan oleh pasar tradisional atau pasar rakyat. Berdasarkan undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan memang ada dua jenis pasar, pasar modern dan pasar tradisional.

Jadi ritel modern bisa menjaga kestabilan harga?

Ritel modern perannya menjadi penjaga ketika harga naik atau turun. Ritel modern bisa menjaga fluktuasi inflasi. Kalau pasar tradisional atau pasar rakyat tidak bisa terkontrol. Menurut survey AC Nielsen pasar tradisional itu hampir sekitar 3,7 juta orang, sedangkan di ritel modern jumlahnya sekitar 45.000 toko dari Aceh sampai Jayapura. Jadi harga pasti lebih stabil di kita, karena ritel modern memiliki jaringan dan sistem. Kemudian yang kedua order atau pemesanan kita juga melewati suatu sistem baku. Dan yang ketiga kita memiliki manajemen untuk pengelolaan atau operasional jalannya gerai. Itu tidak ada di pasar tradisional karena pemiliknya individu yang barangnya dipasok oleh pihak-pihak yang mengambil keuntungan lebih sehingga harga sangat berfluktuasi. Karena itu ritel modern berada di garda terdepan untuk menjaga inflasi supaya normal sesuai dengan harapan pemerintah 3 persen, plus minus 0,5 persen.

Roy Nicholas Mandey. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Roy Nicholas Mandey. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Selain itu apa lagi peran penting ritel modern?

Semua perusahaan ritel itu mendapatkan barang dari sumber yang sama dengan harga pokok. Kemudian waktu menjual kepada masyarakat konsumen karena ada pajak yang harus diberlakukan, maka kita memungut pajak PPN dari setiap barang yang dijual di ritel modern. Gerai ritel modern ini harapan pemerintah untuk mendapatkan fiskal dari PPN. Ada juga PPh baik dari perorangan/individu dan PPh korporasi. Dari berbagai alasan tersebut tentunya menjadi alasan terpenting untuk ritel modern dari waktu ke waktu itu sebenarnya perlu diprioritaskan.  Namun sampai saat ini kita belum menjadi sektor prioritas.

Ini yang menjadi catatan Aprindo bahwa kami selama ini ikut membantu  menyediakan kebutuhan pokok/ kebutuhan sehari-hari masyarakat, menyerap tenaga kerja, dan sebagai tempat pemungut pajak. Kami berharap keberadaan ritel modern belum mendapat prioritas dan betul-betul dapat maju berkembang sesuai dengan harapan yang kita inginkan.

Katagori ritel itu apa saja? Berapa banyak anggotanya sekarang? Apakah peritel asing juga bisa masuk Indonesia?

Berdasarkan undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan dan turunan dari UU Ciptaker 11 PP 29,  jenis ritel modern di Indonesia ada 5 tipe. Yang pertama minimarket yang luasnya di bawah 100m2 lebih banyak di angka 80m2. Kemudian yang kedua Supermarket luasnya 1500 - 2000m2. Lalu  yang ketiga hypermarket luasnya 5.000 – 6.000m2. Kemudian yang ke-4 itu departemen store atau yang ada di mall dan lain sebagainya itu beragam yang luasnya sekitar dari 2.000m2. Terakhir grosir atau kulakan luasnya 5.000m2 ke atas. 

Ritel asing dulu masuk dalam katagori daftar negatif investasi, namun sekarang sudah masuk dalam daftar positif investasi. Tetapi ritel asing yang mau masuk ke Indonesia harus bekerjasama dengan partner lokal. Untuk ritel asing yang dominan dibandingkan mitra lokalnya diizinkan buka di pusat perbelanjaan atau mall supaya lebih terintegrasi dengan fasilitas mall.

 Seperti apa kondisi anggota Aprindo menghadapi pandemi?

Selama pandemi ini kami amat terdampak. Soalnya ada pembatasan mobilitas yang membuat publik tak bisa mengunjungi ritel modern. Semua kegiatan banyak dilakukan di rumah;  work from home, study at home, dan lain sebagainya. Bahkan ada pernikahan yang dilakukan di rumah. Kalau pun ada pengunjung yang membeli, yang dibeli adalah bahan kebutuhan pokok. Dan mereka membatasi belanja baik jumlah maupun anggaran. Itu yang membuat performa ritel menurun.

Saat awal bulan Maret 2020 ketika diumumkan pertama oleh pemerintah tanggal 3 Maret siang di Depok itu kemudian terus bergeliat,  April kita lockdown dan masuk Idul Fitri bulan suci Ramadan. Pada bulan April bulan Mei minggu kedua tahun lalu 2020 itu kita berada pada titik nadir dari indeks penjualan ritel kita. Indeks penjualan ritel kita yang disurvey Bank Indonesia minus 20,6 persen. Sebelum pandemi angkanya bertumbuh di angka minta positif 8 sampai 9 persen.

Pertumbuhannya mulai terlihat pada bulan April tahun 2021. Ketika kuartal pertama kita berada pada minus 0,74 untuk pertumbuhan ekonomi. Kuartal kedua kita berada dalam posisi yang enggak pernah terjadi dalam satu dekade ini positif 7,07 persen. Pada saat itu dari yang tahun lalu terendah nggak pernah di atas posisi di atas kita tumbuh positif sekitar 5 persen,  luar biasa itu. Kuartal ketiga kembali menurun saat pemerintah menarik rem darurat (PPKM Darurat) untuk menanggulangi varian delta. Pada minggu ketiga Agustus kita berada dalam posisi yang sudah mulai membaik,  penanggulangan lebih baik, varian delta berhasil mulai ditekan dan vaksinasi juga makin bertambah. Sehingga pertumbuhan ekonomi kita di kuartal ketiga 3,5 persen.

Kita berharap seperti sekarang ini walaupun ada varian omicron, tapi kan ini bisa dilokalisir. Yang kita harapkan PPKM yang sekarang ini biarlah sifatnya clustering,   jangan digeneralisir. Jadi kalau ada daerah yang memang belum menunjukkan performa vaksin yang di atas 80%, daerah itu boleh PPKM. Sedangkan untuk daerah yang sudah lumayan mobilitas dilonggarkan meski tetap prokes.

Ada pengusaha ritel yang kolaps karena pandemi?

Pengusaha ritel itu dianggap kuat karena korporasi, tapi kenyataannya ada anggota kami  pada pertengahan Juli 2021 kemarin  harus menutup semua gerainya di seluruh wilayah Indonesia. Sebelumnya pada tahun 2020 sudah menutup hampir 50 persen. Anggota kami bayar listrik dengan tarif komersial, sektor lain dapat subsidi upah untuk karyawannya kami tidak dapat. Akibatnya ada anggota kami alih bisnis, dan ada juga yang menjual lokasi usahanya.

Ritel itu perlu masuk ke sektor prioritas agar mendapatkan dana pemulihan  ekonomi seperti sektor:  ketahanan pangan, kesehatan, energi, telekomunikasi, pariwisata. Soalnya ritel juga harus diselamatkan.

Berapa lama daya tahan anggota Aprindo dalam kondisi sulit ini?

Untuk anggota kami yang hanya menjalankan usahanya ritel dia lebih rentan untuk kolaps, tapi bagi yang masuk dalam sebuah grup usaha, selain ritel ada properti misalnya, ada perbankan dan lain-lain, sehingga bisa subsidi silang. Yang model begini bisa lebih kuat. Semoga gelombang ketiga tidak terjadi, sehingga kita bisa bertahan.

Bagaimana dengan pemasaran minyak goreng murah seharga Rp14.000 per liter?

CPO (crude palm oil) harganya sekarang lebih baik di tingkat global, jadi ekspor memang lebih bagus. Lalu CPO digunakan untuk biodiesel. Inilah yang membuat cadangan CPO menurun, namun permintaan tidak menurun. Akhirnya  harga minyak goreng yang bahan bakunya dari CPO meningkat.

Ritel menjual kemasan sederhana dan kemasan premium. Kemasan sederhana yang sudah habis sejak pertengahan tahun 2021. Lalu Aprindo diminta bantuan untuk menyalurkan minyak goreng kemasan sederhana  dari produsen. Kesepakatan 11 juta liter hingga Januari 2022. Jumlah ini yang disalurkan oleh seluruh anggota Aprindo yang menjual dengan harga Rp14.000. Namun karena jumlahnya terbatas, dalam hitungan jam saat dibuka langsung habis.

Roy Nicholas Mandey, Sekali Travelling Dua Tiga Manfaat yang Didapat

Roy Nicholas Mandey. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Roy Nicholas Mandey. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Di tengah kesibukannya sebagai pengusaha dan menjadi Ketua Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) Roy Nicholas Mandey menyisihkan waktu untuk travelling atau jalan-jalan. Tak harus selalu ke manca negara, dalam negeri juga oke buat dia. Sekali melakukan travelling dia akan meraih banyak manfaat. Seperti kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.  “Kenapa saya hobi travelling, karena banyak manfaat yang bisa diraih dari aktivitas travelling itu,” katanya.

Namun pembatasan bepergian yang dilakukan pemerintah selama pandemi COVID-19 yang melanda sedikit membatasi rencana-rencana kegiatan travelling-nya. “Selama pandemi aktivitas saya hanya di rumah dan sekitarnya. Habis mau pergi ada pembatasan, kita harus social distancing dan physical distancing. Situasinya beda sekali dengan sebelum pandemi. Kecuali penting sekali dan ada tugas saya baru bepergian,” katanya.

Pandemi buat Roy, adalah saat untuk merenung. Mengapa ada pandemi dan apa yang harus dilakukan menghadapi pandemi ini. “Pertama yang saya mau sampaikan adalah bagaimana kita harus selalu mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Karena di situ ada ketenangan,  kekuatan dan di situ ada satu keyakinan bahwa kita punya kemampuan untuk mengatasi situasi kondisi apa pun dengan bantuan Yang Maha Kuasa,” ujarnya.

Lalu, harus ada sikap optimis agar bisa bangkit setelah terdampak pandemi. “Kita perlu punya sikap optimis. Sikap optimis bisa memacu semangat kita. Kenapa begitu? Karena optimis dan semangat itu adalah sesuatu yang akan mendorong pikiran kita, mata kita, pendengaran kita, bahkan cara kita dalam menyampaikan berbagai macam usulan atau pandangan dan sebagainya dengan hal-hal yang positif. Ketika kita bersikap positif tentunya berharap hasilnya juga positif,” lanjutnya.

Selain dua hal itu, lanjut Roy, ada satu lagi yang perlu dijaga; keseimbangan. “Keseimbangan kita dalam bekerja, keseimbangan kita untuk rekreasi dan rileks. Juga keseimbangan dengan segala permasalahan, serta kesimbangan bersama keluarga,” katanya sembari menambahkan, keseimbangan ini tidak bisa datang sendiri. Keseimbangan itu harus dikejar dan diraih.

Cari Inspirasi

Roy Nicholas Mandey. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Roy Nicholas Mandey. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Sebelum pandemi melanda, Roy memang secara rutin travelling. Tak hanya mancanegara yang menjadi sasarannya berwisata, wisata dalam negeri juga menjadi tujuannya untuk berlibur bersama keluarga. Labuhan Bajo adalah salah satu destinasi yang amat disukainya.

“Kenapa saya hobi travelling karena ada banyak hal baru bisa kita serap dari kegiatan itu. Buat saya luar negeri oke, dalam negeri juga bagus. Sebelum pandemi saya bersama keluarga ke Labuan Bajo. Semua sudah tahu kalau di sana tempatnya bagus sekali,” kata pria yang bergabung dalam salah satu peritel besar di Indonesia.

Di sana Roy tak hanya berlibur dan memanjakan diri. Ia juga menyaksikan aktivitas masyarakat di sekitar lokasi wisata. “Saya jadi tahu bagaimana bagaimana kebiasaan masyarakatnya? Apa kelebihan mereka yang bisa diadopsi dan apa prospek yang bisa menjadi peluang,” katanya.

Saat travelling ke mancanegara terutama negara yang relatif maju, ada satu yang tak pernah dilupakan Roy. Dia akan melihat toko ritel di sana. Seperti apa kemajuannya dan teknologi yang digunakan. “Di sana saya selalu menyempatkan diri melihat toko-toko ritel dengan segala teknologi yang berkembang dan lain sebagainya. Apa saja kemajuan yang diterapkan di sana. Ini bisa jadi inspirasi dan diaplikasikan dalam usaha ritel yang saya lakukan di tanah air,” tukasnya.

Wisata Kuliner

Roy Nicholas Mandey. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Roy Nicholas Mandey. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Menyambangi tempat wisata biasanya satu paket dengan eskplorasi kuliner di daerah yang dikunjungi, Roy juga demikian. “Salah satu kekayaan kuliner yang Indonesia yang paling sering dieksplorasi oleh Roy adalah kopi. Masing-masing daerah kopinya punya ciri khas. Kalau di Sumatera dari yang paling utara ada kopi Gayo di Aceh, kopi Mandailing di Sumater Utara. Terus ke selatan pulau Sumatera tiap daerah kopinya unik-unik di Sumbar, Riau, Sumsel, Jambi, Bengkulu dan Lampung,” katanya.

Belum lama ini Roy menyambangi Provinsi Bangka Belitung.  “Ternyata di sana kopinya juga ada. Dan menurut saya rasanya enak,” lanjutnya.

“Kalau kita makin ke Timur mulai dari Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, NTB dan NTT, Sulawesi hingga Maluku dan Papua punya kopi. Dan cita rasanya khas. Ini adalah kekayaan kuliner yang bisa dieskplorasi dan menjadi potensi sebenarnya. Jika pengemasan dan promosinya bagus bisa menjadi komoditas ekonomi yang bisa meningkatkan pendapatan petani kopi,” lanjutnya.

Itu baru dari sisi kopi, minuman yang disukai banyak orang baik untuk santai mau pun saat bertemu dengan kolega. Belum lagi kuliner lain seperti makanan kecil atau hidangan khas dari tiap daerah. “Jadi kita sebenarnya negara yang sumber daya alamnya itu signifikan dari sisi kuliner.  Tentunya itu yang menjadi bagian dalam dalam travelling. Walaupun ada juga di tempat tertentu  kulinernya nggak bisa nikmati karena memang berbeda jauh cita rasanya,” katanya.

Roy bersyukur hingga saat ini ia masih bisa menikmati bermacam-macam hidangan, kecuali yang memang  secara medikal dilarang untuk dirinya. “Saya dari keturunan yang tak bisa minum alkohol, kalau dipaksakan kulit saya akan merah-merah,” ungkapnya.

Meski jenis makanan lain tak dilarang, Roy Nicholas Mandey menerapkan prinsip keseimbangan dan tak berlebih dalam mengonsumsi makanan. “Tentunya tidak berlebihan dan tidak juga kurang, ya sedang-sedang saja,” katanya. Dan kenikmatan makanan itu, kata dia kuncinya ada di mulut. “Ukuran enak itu hanya ditentukan oleh 5 sentimeter di area di area mulut kita. Begitu sudah lebih 5 sentimeter itu sudah sama semua rasanya di dalam perut, enggak ada bedanya,” tandasnya sembari tertawa khas.

“Ritel modern perannya menjadi penjaga ketika harga naik atau turun. Ritel modern bisa menjaga fluktuasi inflasi. Kalau pasar tradisional atau pasar rakyat tidak bisa terkontrol. Menurut survey AC Nielsen pasar tradisional itu hampir sekitar 3,7 juta orang, sedangkan di ritel modern jumlahnya sekitar 45.000 toko dari Aceh sampai Jayapura. Jadi harga pasti lebih stabil di kita, karena ritel modern memiliki jaringan dan sistem,”

Roy Nicholas Mandey