Perdagangan manusia alias human trafficking berkembang seiring dengan kemanjuan teknologi. Makin maju perkembangan teknologi makin maju pula pola yang digunakan untuk melakukan kejahatan ini. Karena itu kata Dr. Susanto, MA., Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hal ini harus menjadi perhatian semua pihak. Kejahatan yang bersifat trans-nasional ini menjurus pada pola baru yang menuntut orang tua, penegak hukum, pemerintah dan semua pihak yang concern pada masa depan anak meningkatkan kewaspadaannya.
***
Sejatinya perangkat hukum di Indonesia amat berpihak pada penegakan hukum atas tindak pindana kekerasan pada anak, termasuk human trafficking. Persoalan ini masuk dalam konstitusi dan perundang-undangan yang ada. Cuma memang perkembangan kejahatan ini terkadang selangkah lebih cepat dari aturan yang ada. Sehingga Dr. Susanto, MA., ini menjadi tantangan bagi semua pihak.
“Memang kasus kasus human trafficking itu polanya terus bergeser dari pola-pola tradisional yang manual, sekarang menjadi pola-pola baru yang tidak mudah dideteksi oleh orang-orang terdekat anak. Dulu saat media digital belum menjadi-jadi, di banyak dunia termasuk di Indonesia kasus-kasus kejahatan itu menggunakan pola-pola biasa. Harus ketemu, harus ada di suatu acara baru peluang kejahatan itu bisa terjadi. Dan juga dilakukan dengan pola-pola yang lain yang sebenarnya relatif lebih mudah di deteksi. Dengan adanya kemajuan teknologi yang begitu pesat maka pelaku kejahatan human trafficking juga menggunakan pola-pola baru melalui media digital, dan melalui medsos,” katanya.
Melalui pola baru ini, orang terdekat di sekitar anak terkadang tak tahu kalau si anak dalam incaran predator. “Ayah dan ibunya belum tentu tahu kalau si anak sedang diincar oleh pelaku kejahatan human trafficking. Hal-hal seperti itu harus menjadi atensi orang terdekat anak yang sudah menggunakan media sosial dan kerap berselancar di dunia maya,” tegas pria yang pernah meraih Penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI., Prof. Dr. Muhadjir Effendy, MAP., sebagai penulis artikel terbaik tingkat nasional pada 2016.
Di masa pandemi COVID-19 ini saja kata Susanto, KPAI menerima laporan 493 dugaan kekerasan seksual pada anak. Ini data yang dihimpun dari awal pandemi sekitar awal bulan Maret 2000 hingga bulan Juni 2021. Pengaduan yang dilakukan masyarakat karena masih pandemi dilakukan secara daring. Ini adalah peringatan bagi semua pihak. Dan yang perlu diingat kejahatan ini seperti fenomena gunung es. Yang tampak sedikit namun yang tak tampak lebih banyak. Karena berbagai faktor korban tidak melaporkan kepada KPAI atau instansi terkait atas apa yang dialaminya. Apa saja persoalan pada anak-anak Indonesia di masa sekarang ini? Dr. Susanto, MA., memaparkanya kepada Edy Suherli, Savic Rabos, dan Rifai dari VOI.ID yang menemuinya di Kantor KPAI Pusat, Jl. Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya.
Apa persoalan yang dihadapi anak Indonesia saat ini?
Situasi anak-anak Indonesia hari ini tentu berbeda dengan sebelum COVID-19. Pandemi COVID-19 memiliki dampak yang kompleks terkait pemenuhan hak gizi anak, pemenuhan kesehatannya, pemenuhan bermain bagi anak yang juga terbatas, pemenuhan pendidikan yang mengharapkan situasi saat ini, di mana layanannya pun harus layanan baru yang ramah anak dan tentu dengan berbagai inovasi. Hal ini sudah pasti berbeda dengan situasi sebelum terjadinya COVID-19 merebak. Dengan situasi hari ini anak-anak juga banyak yang cenderung bosan dengan pola-pola pembelajaran yang monotone, tentu ini harus juga menjadi atensi bagi mereka yang terlibat dalam satuan pendidikan. Hal lain yang juga menjadi catatan kita adalah terkait dengan banyaknya anak yang kehilangan orang tuanya baik kedua-duanya maupun sebagian karena COVID-19. Ini menjadi catatan besar bagi negara, karena hal itu membutuhkan upaya khusus.
Kejahatan siber saat ini semakin meningkat karena intensitas anak kita yang menggunakan media digital memang cukup tinggi, sementara literasi terhadap anak, terhadap orang terdekat; kepada pengasuh, orang tua, itu memang masih terbatas. Hal itu menimbulkan kerentanan bagi anak-anak kita, rentan terpapar, bahkan rentan menjadi pelaku. Itu berapa catatan kita pasca pandemi ini.
Saat pandemi COVID-19 ini persoalan anak semakin kompleks?
Ya, memang semakin kompleks, terutama di beberapa isu, isu kesehatan, isu pendidikan, dan isu pengasuhan. Orang tua juga menjadi bertambah beban, kalau dulu partisipasi orang tua dalam proses pendampingan pembelajaran masih dalam batas proporsinya. Dalam situasi COVID-19 ini orang tua harus mendampingi anak secara intensif karena kalau tidak dikawatirkan anak kita menjadi tidak maksimal dalam mengikuti proses pembelajaran.
Kekerasan anak berdasarkan Convention on the Rights of the Child (1989) dapat berupa kekerasan fisik, seksual, emosional, pengabaian, dan eksploitasi. Untuk anak Indonesia seperti apa realitasnya?
Ini terkonfirmasi dari hasil survei tahun 2020 dalam situasi COVID-19 rentang beberapa bulan setelah COVID-19, kami memotret seberapa jauh sebenarnya situasi anak dalam situasi COVID-19. Kami melakukan survei secara nasional di 34 provinsi dengan responden anak 25.000 lebih, tentu ini bisa memotret sebenarnya dengan rentang usia tertentu; usia SD akhir sampai SMP dan SMA. Dari survey ini ternyata dalam situasi COVID-19 ini anak rentan terhadap kekerasan fisik, kekerasan verbal dari orang-orang terdekat anak. Pelakunya di antaranya ibu, ayah, kakek dan nenek, kemudian kakaknya dan saudara terdekat korban dan juga pengasuh. Ini adalah lampu kuning untuk semua pihak.
Tampaknya harus ada evaluasi total dalam pola asuh anak, harus ramah anak. Tidak boleh ada alasan karena selama pandemi ini akan orangtua ada yang kena PHK, atau terkurangi jam kerjanya, pendapatan juga berkurang, kemudian anak rentan dijadikan objek kekerasan sebagai pelampiasan. Apapun bentuk kekerasannya, apakah kekerasan fisik, verbal maupun psikis, itu tidak boleh terjadi.
Soal kejahatan seksual pada anak seperti apa realitasnya?
Sampai bulan Juni 2021 ini ada 493 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang pengaduannya melalui online ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Kasus-kasus kekerasan seksual seperti ini sebenarnya kalau dari sisi kebijakan negara kita memang cukup maju, meski ada beberapa hal memang butuh evaluasi. Indikatornya adalah pertama dari sisi perlindungan anak dari kekerasan itu kan juga masuk di dalam Undang-undang Dasar 1945, tidak semua negara memasukkan sampai ke konstitusi. Beberapa negara misalnya hanya sampai undang-undang. Artinya nggak boleh ada anak-anak kita yang menjadi korban kekerasan, diskriminasi, termasuk kekerasan seksual.
Yang kedua kita juga telah memiliki undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kemudian ada sebagian pasalnya diubah menjadi undang-undang No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan undang-undang No 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Teman-teman menamakan ini sebagai Perpu Kebiri, ada dua yang ditambahkan yaitu 81 dan pasal 82 yang kemudian direvisi menjadi undang-undang.
Dari sisi substansi ada beberapa kemajuan ya, contoh misalnya ada pemberatan bagi pelaku. Dulu tidak ada pemberatannya ya di undang-undang No 35 Tahun 2014. Di undang-undang itu secara tegas mengatakan bahwa pelaku kekerasan seksual misalnya guru, aparat yang bekerja pada Komisi Perlindungan Anak, orang tua yang melakukan kejahatan seksual pada anak, mereka mendapatkan pemberatan hukuman, ditambah 1/3 dari dari ancaman pidananya yang ada. Soalnya mereka itu mustinya menjadi pelindung, eh ternyata menjadi pelaku.
Untuk hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual pada anak apakah sudah diimplementasikan?
Perdebatannya luar biasa, pro dan kontra soal ini. Di Inggris konsep kebirinya kerja sosial. Ada juga negara lain berdasarkan putusan pengadilan. Kebiri itu sejatinya adalah rehab agar yang bersangkutan tidak melakukan kejahatan yang sama. Soalnya ada kasus pelaku kejahatan seksual anak yang sudah menjalani hukuman, tetapi setelah bebas kembali berulah. Ini harus harus jadi atensi bagi Lapas agar pelaku tidak melakukan perbuatannya lagi setelah bebas.
Jadi ada efek jera juga untuk pelaku dan calon pelaku?
Ya kira-kia begitu. Tapi yang perlu mendapat perhatian, karena dalam beberapa kasus, semua pihak terlalu fokus pada pelaku kejahatan seksual pada anak, sementara korbannya terlupakan. Korban kekerasan musti mendapatkan rehabilitas secara tuntas. Apalagi kalau korbannya banyak, harus dilakukan pendalaman secara serius, simultan dan utuh agar fact finding terhadap korban itu benar-benar maksimal. Kenapa karena kalau ada kemudian tidak teridentifikasi dan dia tidak ditangani dengan baik maka ada kerentanan-kerentanan di kemudian hari saat yang bersangkutan sudah mengarungi kehidupannya.
Ada beberapa catatan dari KPAI soal korban kekerasan seksual ini masih belum maksimal. Di antaranya karena misalnya lembaga-lembaga layanan memiliki keterbatasan dalam anggaran, SDM, sistem dan lain-lain. Ada juga faktor internal keluarga, misalnya korban sudah direhab di kota A, eh dipindahkan ke kota B.
BACA JUGA:
Kasus human traficking pada anak juga sering terjadi, orang bilang fenomenanya seperti gunung es, yang terlihat tak banyak tetapi yang di bawah jauh lebih banyak, apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir hal ini?
Ya memang kasus human trafficking itu polanya terus bergeser dari pola-pola tradisional yang manual, sekarang menjadi pola-pola baru yang memang tidak mudah dideteksi oleh orang-orang terdekat anak. Dulu saat media digital belum menjadi-jadi, katakanlah belum bertumbuh pesat. Di banyak dunia termasuk di Indonesia kasus-kasus kejahatan itu menggunakan pola-pola biasa. Harus ketemu, harus saat di suatu acara, kemudian dengan pola-pola yang lain yang sebenarnya lebih mudah. Dengan adanya kemajuan teknologi yang begitu pesat maka pelaku kejahatan human trafficking juga menggunakan pola-pola baru melalui media digital, dan melalui medsos. Ayah, ibunya belum tentu tahu kalau si anak sedang diincar oleh pelaku kejahatan human trafficking. Hal-hal seperti itu harus menjadi atensi orang terdekat anak.
Makanya kami sering sampaikan baiknya ya anak-anak ketika memiliki akun medsos sebaiknya yang memang password-nya itu juga diketahui oleh orang tua, agar saat yang bersangkutan berkomunikasi dengan pihak lain, luar orang yang tidak dikenal itu bisa ditekan dan diantisipasi oleh orang-orang terdekat.
Apa yang upaya yang dilakukan KPAI untuk meminimalisir kasus ini?
Nah ini tentu harus benar-benar jadi atensi makanya kami beberapa kali memanggil media platform hadir di KPAI semangatnya apa aja? Pengelola media platform itu agar punya komitmen yang sama sesuai aturan hukum yang ada di Indonesia. Okelah katakan media platform itu lahir di negara lain, tetapi karena beroperasi di Indonesia harusnya juga mengikuti kode etik yang berlaku di Indonesia. Mereka harus mematuhi undang-undang pornografi dan undang-undang lainnya.
Terkait dengan pencegahan human trafficking ini, undang-undang Perlindungan Anak dan lain yang ada semangatnya agar terjadi proteksi terhadap anak itu semakin maksimal. Dan saat ini orang tua memang harus ekstra hati-hati. Ya tentu jadi kehati-hatian orang tua itu harus tercerminkan dalam beberapa hal di dalam proses pengasuhan, memantau terkait dengan aktivitas anak tentu harus sudah diketahui. Yang juga harus dikoreksi adalah pola asuh pada anak-anak selama ini seperti apa, apakah sudah cair dan hubungan dengan anak. Jangan sampai anak-anak takut untuk curhat kepada orangtuanya sendiri, sehingga curhatnya pada orang lain. Jadi beban untuk melindungi anak-anak kita ada pada semua dari keluarga, KPAI, penegak hukum, pemerintah dan semua pihak yang punya kepedulian pada perlindungan dan masa depan anak-anak Indonesia.
Sibuk, Ini Trik Susanto Optimalkan Waktu untuk Keluarga
Aktivitas Dr. Susanto, MA sebagai Ketua KPAI, dosen, dan aktivitas di berbagai organisasi sosial dan keagamaan boleh saja segunung. Namun ia tetap memprioritaskan waktu untuk keluarganya. Sabtu dan Minggu akan diupayakan semaksimal mungkin untuk keluarga, ketika tak ada acara mendesak di KPAI atau kegiatan lainnya.
Ia akan bermain, berolahraga dan bercengkrama dengan anak-anaknya; Salwa Aufa Adiibah, Prabu Afkar Jenius, Kaisar Mumtaz dan Ratu Cantika. “Biasanya saya sepeda bersama anak-anak. Lokasinya enggak jauh-jauh, cukup di belakang rumah atau di jalanan yang tak jauh dari rumah. Yang penting cukup untuk membuat badan tetap sehat dan menjaga kebugaran,” ungkap Susanto yang berdomisili di kawasan Cilodong, Depok, Jawa Barat ini.
Menurut Susanto, meski dirinya tidak ahli sekali dalam aktivitas olahraga bersama anak-anaknya, hal itu tak jadi masalah. Soalnya bukan keahlian itu yang yang menjadi prioritas. Saat itu ia ingin meningkatkan kebersamaan dan kedekatan setelah sekian hari fokus untuk kegiataan di kantor. “Meskipun tidak memiliki keahlian dalam bermain bola, demi anak-anak saya akan terlibat bermain bola bersama mereka,” kata Susanto yang pernah menduduki posisi Wakil Sekretaris LAZIS PBNU Periode 2005 – 2010 dan Wakil Ketua LP Maarif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2015-2020 ini.
Buktinya, kata dia melanjutkan, saat akhir pekan anak-anaknya selalu menagih untuk bermain bola bersama. “Mereka malah kadang minta saya untuk main lagi dan lagi. ‘Ayo main main bola, ayo kapan main, kapan main badminton lagi dan lain sebagainya.’ Jadi kalau akhir pekan waktu saya memang meluangkan waktu sepenuhnya untuk anak. Dari bermain sepeda, sepakbola, badminton dan lain-lain,” ujar pria kelahiran Pacitan, 5 Mei 1978 ini.
Aktivitas fisik amat dibutuhkan dalam masa pertumbuhan dan pekembangan anak. Anak-anak kata Susanto tak hanya dituntut untuk menyelesaikan pendikan di sekolah, aktivitas fisik seperti bermain atau olahraga amat membantu tumbuh kembang mereka. “Jadi bagaimana kita menciptakan suasana hidup yang tetap bahagia, sehat dan ceria meski keadaan saat ini tidak kondusif kerena masih dihantui pandemi COVID-19,” paparnya.
Jaga Makanan
Untuk urusan makanan Susanto mempercayakan sepenuhnya kepada istrinya untuk mengatur menu harian. Dan dia, lanjut pria yang gemar dengan aneka makanan yang berasal dari laut ini, sudah tahu benar hal itu. “Kalau urusan makanan istri saya sudah sangat faham,” katanya memberikan pujian.
Makan teratur adalah trik untuk meminimalisir timbulnya penyakit lambung seperti sakit mag. Karena itu dia memilih untuk teratur dalam jadwal makan. “Kalau saya memang terbiasa makan harus tepat waktu. Sarapan pagi, lalu siang sekitar jam 12 waktunya makan. Sore juga begitu, diupayakan tidak lebih dari jam delapan malam sudah santap malam,” ungkapnya.
Selain jadwal makan yang harus teratur, menurut Susanto yang tak kalah pentingnya adalah nutrisi yang masuk ke dalam tubuh juga harus tepat. Karbohidrat yang cukup dipadu dengan protein baik hewani maupun nabati dan ditambah dengan sayur-sayuran serta buah-buahan adalah bahan-bahan yang bagus untuk memenuhi kebutuhan gizi tubuh. “Setiap hari komponen-komponen itu diupayakan ada. Kalau misalnya pagi tak sempat makan sayur di waktu siang atau malam harus diupayakan. Kami menganut pola makan dengan gizi seimbang,” tambahnya.
Susanto bersyukur ia masih bisa menyantap makanan, yang bagi sebagian orang sudah harus dibatasi atau malah tidak dibolehkan sama sekali, karena faktor usia atau faktor lain seperti penyakit tertentu yang membuat suatu makanan tak boleh dikonsumsi. “Alhamdulillah untuk saat ini masih saya masih menyantap beragam makanan. Makanan dari bahan kambing masih oke. Tetapi tentu tetap harus menjaga, kalau hari ini sudah menyantap sate kambing atau gule kambing, besok kalau bisa enggak, ya dihentikan dulu. Ya ganti dengan menu yang lain dulu, begitu saja agar tidak berlebihan,” katanya membagikan tips dalam menyantap makanan.
Karena berasal dari daerah pesisir pantai Selatan Jawa Timur, ia sudah terbiasa dengan hidangan laut. “Aneka jenis ikan yang diolah dengan cara dibakar, atau dibuat sup, saya amat suka. Selain itu udang, ikan teri, cumi dan ikan air tawar juga menjadi hidangan favorit saya dan keluarga,” katanya.
Satu lagi makanan kesukaannya adalah sambal teri. “Saya suka sekali dengan sambal teri. Ibu saya saya sangat tahu kalau saya sejak kecil kalau disuguhi sambal teri makan saya jadi lahap,” katanya. Sekarang setelah berkeluarga, tugas menyediakan sambal teri diteruskan oleh istri tercinta.
Meski waktu berganti, dan domisili pun berubah, selera makan Susanto tak banyak menghalami perubahan. Pun ketika ia harus hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan studi S2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (lulus 2007) dan berlanjut ke jenjang S3 Universitas Negeri Jakarta (lulus 2016). Sebelumnya ia menuntaskan pendidikan dari pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi (S1) di daerah asalnya Pacitan dan Ponorogo Jawa Timur.
“Saat sekarang mengabdi di KPAI, dalam hal makanan favorit tetap tak berubah. Soalnya saya lahir dan besar di Pacitan, daerah pesisir pantai yang sumber bahan makanan lautnya melimpah. Saat hijrah ke Jakarta pun ternyata tak sulit menemukan makanan kesukaan saya itu, ya sudah terpeliharalah semuanya,” katanya.
Belajar
Bagi Susanto memanfaatkan waktu sebaik mungkin adalah salah satu kunci dalam melakoni hidup dan kehidupan yang penuh dengan tantangan ini. “Pesan pertama saya untuk adik-adik generasi muda, pastikan pada usia belajar tetap harus tetap belajar dengan baik dengan mengelola waktu yang proporsional. Menggunakan waktu dengan tepat, menggunakan waktu yang berkualitas. Kedua, tentu anak-anak kita harus mengikuti tokoh-tokoh yang positif sebagai contoh dan panutan dalam hidup,” kata mantan pengurus Bidang Pendidikan dan Pengembangan SDM, Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Periode 2017-2022 ini.
Contoh ini menurut Susanto amat berpengaruh pada tumbuh kembang. Tokoh positif akan memberikan dampak yang positif dan sebaliknya tokoh yang negatif akan memberikan pengaruh yang negafif pula. Itulah pentingnya harus selektif memilih tokoh dan panutan dalam melakoni hidup dan kehidupan.
Yang ketiga, harus cermat menggunakan waktu yang berkualitas untuk aktivitas yang berkualitas. “Hindari menggunakan media digital dengan waktu yang tidak terseleksi, waktu yang tidak terkontrol. Kadang-kadang misalnya mengakses konten yang tidak tepat. Jadi menggunakan media digital dengan waktu yang tepat dan patut. Hindari mengakses konten-konten yang tidak penting,” lanjut Pengurus Gerakan Anti Narkoba MUI Pusat Periode 2021 – 2025 ini.
Yang keempat menurut Susanto, tak membatasi diri dalam berteman. “Bertemanlah tanpa membeda-bedakan suku, agama, dan kelas sosial,” katanya. Semua orang yang bisa mengajak ke arah kebaikan adalah kegiatan yang postif layak jadi teman. “Jangan mudah terpancing untuk melakukan bulliying pada orang-orang yang menurut kamu tidak sejalan atau tidak sesuai. Dengan mem-bully, bukan solusi yang muncul, malah sebaliknya akan timbuk masalah baru,” tandasanya.
Terakhir, kata Susanto, jangan lupa menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing. “Kalian semua anak muda, jangan lupa menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Itu penting karena bisa membantu menguatkan karakter sebagai anak bangsa,” katanya.
“Kasus human trafficking itu polanya terus bergeser dari pola-pola tradisional yang manual, sekarang menjadi pola-pola baru yang memang tidak mudah dideteksi oleh orang-orang terdekat anak. Dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat maka pelaku kejahatan human trafficking juga menggunakan pola-pola baru melalui media digital, dan melalui medsos,”