Peter Gontha Pernah Bilang Konglomerat Chairul Tanjung Rugi Rp11 Triliun Gara-Gara Garuda Indonesia
Mantan Komisaris Garuda Indonesia, Peter Gontha bersama dengan Menteri BUMN, Erick Thohir. (Foto: Instagram @petergontha)

Bagikan:

JAKARTA - Topik mengenai bakal dibangkrutkannya PT Garuda Indonesia Tbk masih hangat dibicarakan. Ditambah lagi, mantan Komisaris Garuda Indonesia, Peter Gontha juga tiba-tiba buka suara menjabarkan kebobrokan maskapai nasional tersebut.

Peter membuka semua permasalahan yang terjadi di tubuh Garuda. Mulai dari salah beli pesawat hingga adanya 'kelompok' yang berkuasa di perusahaan penerbangan nasional tersebut.

Sebelum hengkang dari jajaran komisaris Garuda Indonesia pada Agustus 2021 lalu, Peter mengaku sudah sejak lama ingin mengungkap permasalahan yang terjadi di Garuda Indonesia kepada publik. Pada 16 Mei 2021, Peter melalui postingan di Instagram mengaku tidak tahan untuk segera mengungkap permasalahan tersebut.

Peter juga mengatakan bahwa Garuda di masa terakhir hidupnya ibarat kanker stadium 4. Namun penanganannya masih seperti menghadapi orang yang terkena flu. Karena itu, menurut dia, pantas jika Menteri Keuangan Sri Mulyani enggan membantu Garuda lagi.

Peter sendiri ditunjuk menjadi Komisaris Garuda per Januari 2020 silam, mewakili pemegang saham perusahaan yakni, PT Trans Airways. Korporasi milik pengusaha Chairul Tanjung yang menggenggam 28,27 persen saham emiten berkode GIAA tersebut.

Dalam perjalanannya sebagai komisaris Garuda Indonesia, Peter Gontha pernah mengungkap hal mengejutkan. Ia menyebut, bahwa Chairul Tanjung mengalami rugi senilai Rp11 triliun di maskapai pelat merah tersebut.

Peter melalui unggahan di akun Instagramnya @petergontha pada Jumat 4 Juni lalu menyebutkan, dirinya mewakili Chairul Tanjung di Garuda Indonesia dalam postingan tersebut. Peter ingin menjawab postingan Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga terkait keputusan-keputusan Kementerian BUMN yang dinilai tidak melibatkan Dewan Komisaris Garuda Indonesia.

"Memang saya mewakili orang yang memegang saham minoritas, artinya dikit lah cuman 28 persen, yaitu Chairul Tanjung [CT]. Tapi si minoritas yang sudah rugi Rp11 Triliun," kata Peter, dikutip VOI, Minggu 6 Juni lalu.

Dia merincikan perhitungan rugi sebesar Rp11 triliun tersebut. Pertama, sewaktu CT diminta tolong karena para underwriter gagal total dan menyetor 250 juta dolar AS.

Waktu itu, kata Peter, kurs masih di kisaran Rp8.000 per dolar AS, sedangkan saat ini sekitar Rp14.500. Kedua, harga saham GIAA waktu itu Rp625, saat ini berada di level Rp256.

"Silakan hitung tapi menurut saya, dalam kurun waktu 9 tahun kerugian CT saya hitung sudah Rp11,2 triliun termasuk bunga belum hitung inflasi, banyak juga yah Mas Arya [Arya Sinulingga Staf Khusus Menteri BUMN]?" tulisnya.

Kerugian yang disebutkan Peter tersebut masih berupa potential loss selama Chairul Tanjung belum menjual sahamnya (cut loss).

Sebelumnya, Peter juga pernah mengungkapkan 7 penyebab keuangan Garuda Indonesia dalam kondisi kritis. Sejumlah penyebab yang menjadi sororatan di antaranya keputusan yang diambil Kementerian BUMN secara sepihak tanpa koordinasi dan tanpa melibatkan Dewan Komisaris.

Melalui akun Facebooknya, Peter merilis surat kepada Dewan Komisaris Garuda Indonesia yang berisi permohonannya kepada para anggota komisaris. Dalam suratnya, Komisaris Garuda yang baru diangkat dalam RUPS 2020 ini mengungkapkan penyebab kondisi kritisnya keuangan Garuda Indonesia.

Dia menyebutkan setidaknya terdapat tujuh hal yang menjadi penyebab kritisnya keuangan Garuda Indonesia. Pertama, tidak adanya penghematan biaya operasional antara lain GHA. Kedua, tidak adanya informasi mengenai cara dan narasi negosiasi dengan lessor.

Ketiga, tidak adanya evaluasi atau perubahan penerbangan atau rute yang merugi. Keempat, arus kas manajemen yang tidak dapat dimengerti. Kelima, keputusan yang diambil Kementerian BUMN secara sepihak tanpa koordinasi dan tanpa melibatkan Dewan Komisaris.

Keenam, saran komisaris yang oleh karenanya tidak diperlukan. Ketujuh, aktivitas komisaris yang oleh karenanya hanya 5 jam-6 jam per minggu. Dalam suratnya, Gontha juga meminta untuk tidak dibayar honorariumnya mulai Mei 2021 hingga rapat pemegang saham mendatang.