JAKARTA - Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini mengatakan bahwa kondisi keuangan negara yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berada pada situasi yang tidak sehat.
Bahkan, Didik menyebut jika APBN yang dikelola oleh pemerintah bisa mengakibatkan kegagalan sistemik dalam perekonomian nasional.
“APBN ini sakit dan saya menduga berpotensi memicu krisis ekonomi,” ujarnya dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) seperti yang dikutip pada Senin, 8 Agustus.
Menurut didik, pengalaman Indonesia saat krisis ekonomi di penghujung 90-an bisa menjadi pelajaran berharga agar tidak terulang kembali. Namun demikian, penyebab krisis yang berpeluang terjadi lagi saat ini cukup berbeda.
“Kalau dulu (krisis ekonomi) terjadi akibat nilai tukar (rupiah yang tertekan oleh dolar AS). Nah, sekarang bisa lewat APBN,” tuturnya.
Dia pun menyebut beberapa sumber yang membuat APBN dalam kondisi ‘sakti’.
“Masalahnya ada di defisit anggaran, utang, dan lain-lain,” tegasnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021 bakal menyentuh besaran Rp1.006,4 triliun atau 5,70 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
BACA JUGA:
Nilai itu terbentuk dari belanja negara yang lebih besar dari pada sektor pendapatan, yakni Rp2.750 triliun berbanding Rp1.170,1 triliun.
Selisih anggaran tersebut kemudian dipenuhi pemerintah dengan cara menyebar berbagai instrumen pembiayaan negara (surat utang).
Mengutip laporan realisasi APBN 2021 hingga semester I 2021, diketahui bahwa utang pemerintah telah mencapai nilai Rp6.554,56 triliun atau 41,35 persen dari PDB.
Jumlah tersebut terdiri dari pinjaman sebesar Rp 842,76 triliun atau setara 12,86 persen dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 5.711,79 triliun atau 87,14 persen.
Asal tahu saja, Menkeu Sri Mulyani kerap mengatakan jika kondisi keuangan negara masih dalam kondisi yang terkendali lantaran berpatokan pada UU Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003 serta Undang-undang APBN yang menyebut jika batas maksimal utang tidak boleh melampaui 60 persen PDB.