JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terkontraksi atau minus 5,32 persen pada kuartal II tahun ini karena kesalahan pemerintah. Menurut dia, pemerintah kurang menggenjot pada sektor belanja pemerintah.
Ekonom Senior Indef, Didik J. Rachbini mengatakan, kemarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pembantunya tidak membuat perubahan pada pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini karena ia menilai, fungsi pemerintahan tak berjalan.
"Pemerintah menjadi sumber pertumbuhan ekonomi negatif. Penyelamat yang harusnya berfungsi ternyata tidak berfungsi," ucapnya, dalam diskusi virtual, Kamis, 6 Agustus.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen merupakan angka pertumbuhan terendah sejak tahun 1999 atau saat Indonesia mengalami krisis moneter (krismon). Jika dibandingkan secara tahunan, angka pertumbuhan ini mengalami kontraksi yang cukup hebat.
Pasalnya di kuartal II tahun lalu pertumbuhan masih cukup baik yakni di angka 5,07 persen. Sementara kuartal I tahun ini pertumbuhannya masih positif di angka 2,97 persen.
Didik mengatakan, akibat COVID-19 ini semua sektor mengalami pertumbuhan negatif, namun sebenarnya krisis itu menciptakan peluang. Hal ini terbukti di tengah tekanan pandemi sektor lapangan usaha infomasi dan komunikasi justru bangun tumbuh positif.
Namun, Didik menyayangkan sektor ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Meskipun berdasarkan rilis BPS sektor ini mampu tumbuh 10,88 persen. Ia menilai, seharusnya bisa dioptimalkan lagi.
"Sebenarnya bagus di sektor informasi dan komunikasi, itu mestinya tumbuh dua digit. Sekarang ini menterinya nganggur, enggak mikir, enggak melakukan inovasi, diam enggak melakukan apa-apa," tuturnya.
Lebih lanjut, Didik mengatakan, peluang sektor informasi dan komunikasi mudah untuk dikelola oleh pemerintah. Salah satu caranya dengan memberikan tiang listrik gratis.
"Ini gampang, Palapa Ring sudah siap dan di-support perusahaan IT, disebarkan melalui tiang listrik, itu yang disebut revolusi tiang listrik. Suruh aja swasta untuk mengaliri fiber optik, itu murah, yang mahal itu tiang listriknya. Dikasih gratis aja, atau didiskon separuh atau disubsidi pemerintah. Karena tingkat elektrivikasi dari listrik itu sudah 90 persen," katanya.
Menurut Didik, kalau ada daerah di Indonesia yang tidak dapat sinyal listrik itu mutlak karena ketidakmampuan pemerintah dalam kebijakan informasi dan komunikasi. "Sektor yang berpeluang itu tidak digarap dengan bagus," jelasnya.
BACA JUGA:
Selain itu, kata Didik, sektor kesehatan juga seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah. Sebab, saat ini kesempatan untuk meningkatkan sektor tersebut terbuka lebar. Namun, sayangnya perhatian terhadap sektor ini kurang.
"Sektor kesehatan itu drakula, menghisap darah devisa 90 persen. Itu diimpor dan di situ ada mafia banyak sekali, rakyat tidak punya akses kepada obat itu gara-gara monopoli, dan perhantian di sektor kesehatan. Jadi pengusaha di sektor kesehatan itu kaya-kaya, menikmati untung yang luar biasa besar, itu harus diubah," katanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, sebuah negara baru dapat dikatakan masuk ke fase resesi apabila realisasi pertumbuhan ekonomi secara tahunan atau year on year (yoy) terkontraksi selama dua kuartal berturut-turut.
"Biasanya dalam melihat resesi itu, dilihat year on year untuk dua kuartal berturut-turut," katanya, dalam konferensi pers secara virtual, Rabu, 5 Agustus.
Sri Mulyani mengatakan, mengacu pada aturan tersebut Indonesia belum bisa dikatakan memasuki jurang resesi seperti Singapura maupun Korea Selatan. Sebab, jika dilihat secara tahunan, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia baru terkontraksi satu kali di tahun ini.
"Sebetulnya kalau dilihat dari year on year belum (resesi), karena ini baru pertama kali kita kontraksi," tuturnya.
Lebih lanjut, Sri berujar, pemerintah berkomitmen untuk menjaga perekonomian nasional pada kuartal III, agar terhindar dari zona negatif. Sehingga, Indonesia tidak masuk ke fase resesi.
"Kalau kuartal III bisa kita hindarkan, maka kita Insyaallah tidak secara teknikal mengalami resesi," jelasnya.