Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) menyampaikan pandangan mereka mengenai undang-undang (UU) Cipta Kerja kepada Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Ketua APEKSI sekaligus Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan pemerintah daerah (pemda) khawatir implementasi UU sapu jagad ini bakal jauh dari yang diharapkan.

Kata Bima, para kepala daerah khawatir bakalan banyak masalah yang akan dihadapi daerah. Karena itu, dari awal kehadiran UU sapu jagad ini sudah dikritisi. Sebab, ada potensi desentralisasi dan hiper-regulasi, karena justru turunannya itu membuat ribet dan sebagainya.

Lebih lanjut, Bima berujar desentralisasi akan membuat tugas Bahlil yang sudah sangat berat menjadi kian padat. Hal ini karena menjadi titik sentral perizinan investasi hingga ke daerah-daerah. Menurut Bima, kondisi ini akan memunculkan potensi tsunami regulasi.

"Saya sering sampaikan bahwa ini tsunami regulasi kami catat paling tidak ada 47 PP sekian Permen yang harus diturunkan itu enggak mudah. Masalahnya teman-teman di daerah dan kita melihat ketika Permen ini agak lambat, kemudian enggak jalan. Banyak hal jadi barangnya enggak bisa bergerak," tutur Bima kepada Bahlil dalam diskusi BKPM, Senin, 10 Mei.

Kata Bima, alih-alih mempermudah perizinan, aturan turunan UU Cipta Kerja justru memperlambat proses perizinan. Bahkan, membuat langkah pemerintah daerah tersendat.

"UU Cipta Kerja berpotensi menghilangkan retribusi parkir daerah, di Cipta Kerja akan diberi insentif tapi juga belum jelas aturannya di mana," jelasnya.

Apalagi, kata Bima, saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) memasang target pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun ini berada di zona positif, pemerintah merasa sulit merealisasikannya karena turunan UU Cipta Kerja tidak mendukung.

"Sekarang ketika presiden menyampaikan target ekonomi positif kita justru khawatir karena awalnya cipta kerja didesain pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan investasi. Begitu ditargetkan lagi untuk economic recovery apalagi positif akan tambah berat," katanya.

Tak hanya itu, kata Bima, wacana memberlakukan online single submission (OSS) atau perizinan online terpadu akan membuat kota yang sudah maju proses perizinannya seperti Bogor, malah mengalami kemunduran.

"Jadi bagi Kota Bogor dan kota lain yang sudah maju, ini kayak mundur. Kita Bogor perizinan ini 14 hari, dengan integrasi sistem tadi bahkan bisa 28 hari," tuturnya.