JAKARTA - Pemerintah berjanji akan mengeluarkan aturan turunan untuk UU Cipta Kerja. Upaya ini dikeluarkan untuk meredam polemik UU tersebut.
Aturan turunan tersebut berupa peraturan presiden (perpres), peraturan pemerintah (PP), hingga peraturan menteri (permen). Pemerintah mengklaim aturan turunan ini mampu menutupi kekurangan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap Omnibus Law.
Namun, menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Said Salahudin, masyarakat tak bisa berharap lebih karena aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja mustahil dapat memperbaiki kekurangan yang dimasalahkan.
"Janji pemerintah untuk membenahi masalah-masalah dalam Omnibus Law melalui aturan turunan hanyalah 'gula-gula'," kata Said kepada VOI, Minggu, 18 Oktober.
Said menjelaskan, aturan turunan yang sedang disusun oleh pemerintah dibentuk dalam rangka menjalankan produk legislasi yang telah ada, dalam hal ini Undang-Undang Cipta Kerja.
Artinya, suatu aturan turunan haruslah dibentuk dengan mendasarkan pada aturan di atasnya. Sementara, aturan yang dibentuk tersebut tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
"Jadi, mau setransparan dan seakomodatif apapun pemerintah menyusun produk regulasi tersebut, hasilnya kelak akan sama saja. PP, perpres, dan permen sulit diharapkan mampu memulihkan kerugian konstitusional masyarakat, terutama elemen buruh, atas berlakunya UU Cipta Kerja," jelas dia.
Oleh sebab itu, Said mengerti jika serikat buruh seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak untuk terlibat dalam pembaasan aturan turunan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
"Para pimpinan buruh itu bukan orang-orang bodoh yang mudah terperdaya oleh iming-iming dan janji gombal semacam itu. Mereka paham bahwa apa yang dijanjikan pemerintah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum," ungkap Said.
BACA JUGA:
Sebelumnya diberitakan, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan tengah mempersiapkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan.
Menurut Ida, aturan tersebut rencananya diselesaikan pada akhir Oktober dan penyusunannya akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan sektor ketenagakerjaan, termasuk serikat pekerja/buruh serta pengusaha.
Ida Fauziyah juga mengatakan sebelum diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan, pembahasan rancangan UU Cipta Kerja sudah dilakukan dengan partisipasi publik yang melibatkan serikat pekerja, pengusaha dan akademisi.
"Pemerintah menegaskan sekali lagi bahwa proses penyusunan RUU Cipta Kerja telah melibatkan partisipasi publik. Untuk klaster ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan mengundang pemangku kepentingan ketenagakerjaan apakah itu serikat pekerja/buruh, pengusaha bahkan mengundang akademisi dari perguruan tinggi dan mendengarkan aspirasi dari International Labour Organization (ILO)," kata Ida.