Faisal Basri Sebut Produksi Gula Nasional Dimonopoli Tiga Kelompok, Salah Satunya Konglomerat Martua Sitorus
Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan bahwa di Indonesia masih sangat kuat praktik monopoli dalam pengelolaan pangan, salah satunya terjadi di komoditas gula. Ia mengatakan bahwa produksi gula nasional hanya dikuasai oleh tiga kelompok.

Lebih lanjut, Faisal mengatakan mereka menguasai sebanyak 96,2 persen dari total produksi gula rafinasi nasional. Ketiga kelompok itu yakni Martua Sitorus, Kurniadi, dan Edy Kusuma. Dari ketiganya membawahi 11 perusahaan rafinasi yang diberikan izin oleh pemerintah.

"Itu ketiga kelompok ini menguasai 96,2 persen dari produksi gula rafinasi. Jadi tinggal tunggu waktunya saja industri gula nasional satu per satu akan berguguran dan kita akan bergantung pada impor," katanya dalam diskusi virtual, Kamis, 26 Agustus.

Faisal menilai ketiga kelompok ini sering mempermainkan kebijakan impor melalui aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah. Kata dia, tujuannya agar mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dari impor gula.

Contohnya, lanjut Faisal, dalam Undang-undang Tahun 2014 Nomor 39 Pasal 74 menyebutkan setiap unit pengolahan hasil perkebunan tertentu yang berbahan baku impor wajib membangun kebun paling lambat tiga tahun setelah pusat pengolahannya beroperasi. Namun, aturan itu kemudian dianulir dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja.

Dalam aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2021 Pasal 30 ayat 2 menyebutkan unit pengolahan gula tebu berbahan baku impor dalam ketentuan ini tidak termasuk unit pengolahan gula rafinasi.

Karena itu, kata Faisal, mereka terbebas dari kewajiban membangun perkebunan meskipun telah beroperasi puluhan tahun.

"Jadi kewajiban mereka sudah digugurkan lewat PP yang nyelip di penjelasan. Itu ada 11 perusahaan gula rafinasi yang diberikan izin walaupun mereka tidak mungkin menanam (tebu) di kebun," ujarnya.

Menurut Faisal, akibat dari ketidakjelasan aturan yang ditetapkan pemerintah, potensi Indonesia bisa melakukan kemandirian pangan sangat sulit dan terus bergantung pada bahan baku impor. Hal ini tercermin sejak tahun 1937 yang sempat menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia, sedangkan saat ini justru menjadi importir gula terbesar kedua di dunia.

"Para pemburu rente itu mereka sekarang masuk menyelundupkan pasal-pasal di dalam ketentuan- ketentuan itu. Menurut saya sangat bahaya, mudah-mudahan sudah terendus oleh teman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," tuturnya.