Bagikan:

JAKARTA - Booming komoditas membawa berkah tersendiri bagi kalangan pelaku usaha di Tanah Air. Bagaimana tidak, harga barang yang tergolong sumber daya alam ini mendapat apresiasi yang tinggi di mancanegara. Sebut saja batu bara dan minyak sawit yang kini sedang melambung.

Dari sisi pemasukan negara, ekspor komoditas unggulan tersebut berperan besar dalam mengerek Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Bahkan, hingga 30 November 2021 sektor PNBP tercatat telah menembus 128,3 persen dari pagu Rp298,2 triliun.

Bak pisau bermata dua, booming komoditas nampaknya membawa sedikit masalah dalam pembentukan harga di dalam negeri. Meski Indonesia menyandang status sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar dunia, namun implikasi kenaikan harga juga dirasakan oleh masyarakat kita.

Dari informasi yang dihimpun redaksi, penetapan harga eceran tertinggi minyak goreng (salah satu produk turunan minyak sawit) adalah Rp11.000 perliter. Akan tetapi, fakta di lapangan menyebutkan bahwa bandrolnya telah menyentuh Rp18.000 untuk setiap satu liter.

Sejatinya, pemain besar dalam industri pengolahan sawit nasional bisa dihitung dengan jari. Mereka dipercaya berandil besar dalam memenuhi pasokan minyak sawit nasional bahkan di dunia.

Lantas siapa saja para kakap yang kini sedang menikmati durian runtuh boom komoditas? Berikut VOI rangkumkan untuk pembaca.

Keluarga Salim

Sebagai konglomerasi besar sejak era orde baru, keluarga Salim sangat dekat dengan bisnis komoditas perkebunan dan pengolahan pangan. Melalui bendera Indofood, klan ini berhasil menguasai sejumlah market penting di Indonesia.

Adalah Indofood Agri Resources Ltd. yang menjadi kantong utama grup Salim dalam usaha perkebunan sawit. Melalui entitas anak PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) mereka merilis Bimoli, Delima, dan Happy sebagai brand minyak goreng di pasar Indonesia.

Sukanto Tanoto

Sukanto Tanoto adalah pengusaha nasional pemilik Royal Golden Eagle International (RGEI) yang sebelumnya bernama Raja Garuda Mas. Dua usaha utama dari RGEI adalah industri kertas dan pulp serta perkebunan kelapa sawit.

Terkhusus kelapa sawit, Sukanto Tanoto mendirikan Asian Agri dan Apical yang kemudian mengolah komoditas ini menjadi merek dagang Camar. Dalam catatan VOI, perkebunan sawit yang terafiliasi dengan RGEI mencapai total luas lahan 160.000 hektar.

Keluarga Eka Tjipta Widjaja

Eka Tjipta Widjaja adalah konglomerat top Tanah Air yang mendirikan Grup Sinar Mas. Korporasi ini memiliki beragam lini usaha. Mulai dari properti, telekomunikasi, hingga perkebunan.

Di bisnis perkebunan, Sinar Mas masuk ke penggarapan kelapa sawit melalui PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR). Adapun, produk minyak goreng yang dilempar ke pasaran oleh Sinar Mas adalah Filma.

Bachtiar Karim

Bersama Burhan dan Bahari, Burhan dan Bahari mendirikan Grup Musim Mas yang tercatat sebagai salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia. Dilaporkan bahwa pada 2019 korporasi ini sukses membukukan penjualan sebesar 6,6 miliar dolar AS.

Beberapa produk minyak goreng lokal yang dirilis Grup Musim Mas antara lain Sanco, Amago, serta Voila. Kesuksesan Bachtiar Karim merengkuh pasar domestik dan mancanegara menghantarkan dia sebagai orang terkaya ke-11 di Indonesia dengan taksiran harta 3,1 miliar dolar.

Martua Sitorus

Melalui Wilmar, Martua Sitorus mengukuhkan diri sebagai salah satu pemain penting industri kelapa sawit nasional. Dia merilis brand Fortune dan Sania untuk pasar domestik. Adapun, sumber produksi Wilmar terkonsentrasi di Sumatera Barat dengan lahan perkebunan sawit mencapai ratus ribu hektar.

Salah satu prestasi yang ditorehkan oleh Martua Sitorus adalah mengantarkan Wilmar masuk dalam jajaran perusahaan minyak sawit terbesar dunia pada 2018 yang lalu. Maka tidak salah jika media ekonomi kenamaan global Forbes sempat menasbihkan dirinya sebagai raja sawit Indonesia.