Bagikan:

JAKARTA - Perusahaan perkebunan sawit milik konglomerat Anthony Salim, grup Sinarmas milik taipan keluarga Eka Tjipta Widjaja, hingga portofolio investor kawakan Lo Kheng Hong memiliki lini produk minyak goreng. Di tengah meroketnya harga minyak goreng, bagaimana margin keuntungan mereka saat ini?

PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR), dan PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) adalah tiga emiten yang dimaksud. Mari kita bedah satu per satu.

Salim Ivomas masih mengandalkan produk minyak goreng dan lemak nabati masih sebagai kontributor terbesar penjualan hingga kuartal III 2021. Dari total penjualan Rp14,13 triliun, produsen minyak goreng Bimoli itu mencatatkan penerimaan sebesar Rp11,66 triliun dari sektor ini.

Sementara itu, SMAR hingga akhir September 2021 mengandalkan penjualan seluruh produk turunan CPO, termasuk biodiesel dan oleokimia. Produk-produk tersebut berkontribusi sebesar 88 persen terhadap total penjualan perseroan.

Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2021, SMAR yang memproduksi minyak goreng dengan merek Filma itu membukukan penjualan sebesar Rp40,38 triliun. Dari jumlah tersebut, omzet dari produk kelapa sawit sebesar Rp37,63 triliun.

Di sisi lain, kenaikan harga CPO dan minyak goreng juga membuat pemerintah bergerak untuk menekan harga. Kementerian Perindustrian membuka peluang pelaku industri minyak goreng sawit berkontribusi dalam program stabilitas harga komoditas tersebut di pasaran.

Sejauh ini, sebanyak 70 produsen minyak goreng sawit (MGS) terlibat dalam mengedarkan 1,2 miliar liter minyak goreng untuk kebutuhan selama 6 bulan mendatang.

Terkait dengan kebijakan tersebut, Pinta mengatakan, SMAR terus meningkatkan kemampuannya dalam memproduksi berbagai produk turunan berbasis kelapa sawit dengan portofolio yang luas untuk memenuhi kebutuhan para pelanggan yang terus berkembang. Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam mendorong hilirisasi.

Dia mengatakan, hingga akhir 2021, SMAR telah menyalurkan minyak goreng dengan harga terjangkau sebanyak 600.000 liter. Kebijakan penyaluran itu akan dilanjutkan perusahaan mulai Januari 2022.

"Perseroan akan kembali mendukung kebijakan pemerintah dalam menstabilisasi harga melalui penyaluran minyak goreng dengan harga yang terjangkau," katanya.

Manajemen SMAR menilai prospek penjualan minyak goreng tahun ini masih baik mengingat produk tersebut merupakan salah satu kebutuhan makanan pokok bagi masyarakat. Harga minyak goreng akan selalu berfluktuasi dipengaruhi oleh pergerakan harga pasar internasional CPO, meskipun kenaikannya cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan harga pasar CPO.

Beralih ke TBLA, emiten portofolio Lo Kheng Hong ini mengandalkan produk olahan sawit sebagai penyumbang penerimaan terbesar. Hingga kuartal III 2021, produsen minyak goreng bermerek Rose Brand tersebut membukukan penjualan sebesar Rp2,61 triliun dari segmen produk pabrikasi dan turunannya dari pengolahan hasil perkebunan sawit untuk pihak berelasi TBLA juga mencatatkan penjualan Rp5,59 triliun di segmen yang sama ke pihak ketiga.

Jumlah tersebut mencakup 73,94 persen dari total penjualan perusahaan sebesar Rp11,09 triliun.