JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan dirinya berambisi untuk bisa merealisasikan swasembada gula di Tanah Air.
Meskipun sulit karena adanya masalah yang kompleks, namun kata Erick swasembada gula bukan berarti tak bisa dilakukan.
"Mengenai swasembada gula telah saya sampaikan sebelumnya, bahwa hal ini akan kita jalankan ke depan. (Ini) Tidak mudah. Karena sudah sedemikian kompleksnya permasalahan," ujarnya seperti dikutip dalam akun Instagram @erickthohir di Jakarta, Sabtu, 28 Agustus.
Sebagai informasi, produksi gula nasional sulit mengalami kenaikan karena beberapa faktor. Mulai dari faktor hulu hingga hilir. Di antara lain gula petani yang belum terserap seluruhnya oleh pasar, hingga kurang bergairahnya pertanaman tebu.
Namun, Erick mengaku optimistis mampu mencapai cita-cita mulia swasembada gula, apabila dibarengi dengan niat baik dan usaha yang keras.
"Tapi kita Insyaallah, Lillahi Ta'ala kita coba benahi meski saya tahun memang hal ini tetap banyak tantangan, dan banyak yang tidak suka. Tapi Bismillah kita coba kerja yang terbaik untuk rakyat kita," ucapnya.
Erick mengatakan pembentukan holding pabrik gula Sugar Company atau SugarCo juga sesuai dengan target yang diarahkan Presiden Joko Widodo, bahwa harus kembali dengan tulang punggung PTPN dengan tidak meninggalkan peran swasta.
Menurutnya, Indonesia 5-6 tahun ke depan seharusnya bukan lagi negara yang mengimpor gula konsumsi. Erick menegaskan dirinya bukan anti-impor, tidak anti-swasta, tetapi aturan main atau rule of the game-nya harus sama-sama diperbaiki.
Produksi Gula Nasional Dimonopoli Tiga Kelompok
Ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan praktik monopoli, khususnya dalam pengelolaan pangan masih sangat kuat. Salah satunya terjadi di komoditas gula. Ia menyebut produksi gula nasional hanya dikuasi oleh tiga kelompok.
Faisal mengatakan mereka menguasai sebanyak 96,2 persen dari total produksi gula rafinasi nasional. Ketiga kelompok itu yakni Martua Sitorus, Kurniadi dan Edi Kusuma. Dari ketiganya membawashi 11 perusahaan rafinasi yang diberikan izin oleh pemerintah. "Itu ketiga kelompok ini menguasai 96,2 persen dari produksi gula rafinasi. Jadi tinggal tunggu waktunya saja industri gula nasional satu per satu akan berguguran dan kita akan bergantung pada impor," katanya dalam diskusi virtual, Kamis, 26 Agustus.
Faisal menilai ketiga kelompok ini sering mempermainkan kebijakan impor melalui aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah. Kata dia, tujuannya agar mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dari impor gula.
BACA JUGA:
Contohnya, lanjut Faisal, dalam Undang-undang Tahun 2014 Nomor 39 Pasal 74 menyebutkan setiap unit pengolahan hasil perkebunan tertetu yang berbahan baku impor wajib membangun kebun paling lambat tiga tahun setelah pusat pengolahannya beroperasi. Namun, aturan itu kemudian dianulir dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja.
Dalam aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2021 Pasal 30 ayat 2 menyebutkan unit pengolahan gula tebu berbahan baku impor dalam ketentuan ini tidak termasuk unit pengolahan gula rafinasi.
Karena itu, kata Faisal, mereka terbebas dari kewajiban membangun perkebunan meskipun telah beroperasi puluhan tahun.
"Jadi kewajiban mereka sudah digugurkan lewat PP yang nyelip di penjelasan. Itu ada 11 perusahaan gula rafinasi yang diberikan izin walaupun mereka tidak mungkin menanam (tebu) di kebun," ujarnya.
Menurut Faisal, akibat dari ketidakjelasan aturan yang ditetapkan pemerintah, potensi Indonesia bisa melakukan kemandirian pangan sangat sulit dan terus bergantung pada bahan baku impor. Hal ini tercermin sejak tahun 1937 yang sempat menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia, sedangkan saat ini justru menjadi importir gula terbesar kedua di dunia.
"Para pemburu rente itu mereka sekarang masuk menyelundupkan pasal-pasal di dalam ketentuan- ketentuan itu. Menurut saya sangat bahaya, mudah-mudahan sudah terendus oleh teman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," tuturnya.