Bank Indonesia Buka Suara Soal Suku Bunga 0 Persen: Sesuai dengan Prinsip Syariah
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo. (Foto: Tangkap layar IAEI)

Bagikan:

JAKARTA - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan suku bunga perbankan 0 persen atau bahkan negatif sebenarnya sejalan dengan prinsip yang diusung oleh lembaga jasa keuangan syariah.

Pasalnya, dalam skema lembaga keuangan yang mengusung konsep Islami tersebut, tidak disebutkan adanya instrumen pengendapan dana yang menghasilkan imbal hasil.

“Kalau perbankan memberikan bunga 0 persen atau negatif, sebenarnya konsep yang ingin diangkat adalah dana itu dipaksa bergerak ke sektor produktif,” ujarnya dalam webinar yang diinisiasi oleh Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Selasa, 6 April.

Dody menambahkan, prinsip tersebut sebenarnya bisa mengatasi persoalan yang ada saat ini, yaitu melimpahnya likuiditas di perbankan akibat pemilik dana lebih memilih memarkir uang di perbankan dari pada digunakan untuk belanja maupun ekspansi usaha.

“Inilah yang sekarang sedang didorong pemerintah untuk menjadikan ekonomi syariah, khususnya di perbankan syariah, sebagai sumber pertumbuhan baru,” tuturnya.

Meski demikian, dirinya tidak ingin berspekulasi apakah Indonesia bakal menerapkan suku bunga 0 persen atau tidak guna menghindari polemik di masyarakat.

Adapun, satu hal yang dia pastikan yakni otoritas moneter tetap bersikap akomodatif terhadap perkembangan ekonomi terkini yang dibuktikan melalui penetapan rate interest di level terendah.

Seperti yang diberitakan sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur BI terakhir yang dihelat pada 18 Maret lalu memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen. Angka tersebut merupakan level terendah sepanjang sejarah penetapan suku bunga di republik ini.

Keputusan BI untuk menjaga rate interest tetap landai dimaksudkan untuk mendorong likuiditas yang mengendap di perbankan bisa disalurkan ke sektor produktif.

Selain itu, aliran dana yang masuk dalam kegiatan usaha diyakini dapat meningkatkan angka inflasi sebagai salah satu indikator agresivitas perdagangan dan perputaran roda ekonomi.