JAKARTA - Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) perlu dilakukan.
"Sudah pasti kita perlu melakukan ekstensifikasi barang kena cukai. Mengingat jumlah barang kena cukai (BKC) di Indonesia yang masih minim dibandingkan dengan negara tetangga," ujarnya kepada VOI, Rabu, 10 Juli.
Saat ini, kata dia, jumlah BKC baru ada tiga, sedangkan negara di ASEAN jumlahnya belasan.
Di sisi lain, industri hasil tembakau terus menurun jadi ada risiko anggaran jika bergantung pada penerimaan cukai rokok.
Sebab itu, Cita menyampaikan, salah satu potensi BKC yang bisa dieksekusi adalah minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), mengingat karakteristik MBDK sesuai dengan karakteristik BKC pada Pasal 2 ayat 1 UU Cukai.
"Gunakan benchmarking dengan negara tetangga, namun disesuaikan dengan pendapatan per kapita. Kita bisa gunakan ukuran relative income price atau RIP," ujarnya.
Dia menambahkan, apabila tarif cukai ditetapkan sebesar Rp1.771 per liter, maka tak jauh berbeda nilainya dengan negara tetangga.
"Untuk awal implementasi biarkan secara administrasi berjalan dengan semestinya dahulu. Meski akan berdampak pada pengendalian dan penerimaan yang lebih kecil dari seharusnya," tuturnya.
BACA JUGA:
Sekadar diketahui, berdasarkan data Global Food Research Program, sampai awal 2022 sudah ada sekitar 55 negara yang menerapkan cukai minuman berpemanis.
Di kawasan Asia Tenggara, cukai tersebut baru diberlakukan oleh Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Secara umum tarif cukai paling tinggi dipatok oleh Brunei, sebesar 0,4 Dolar Brunei per liter (sekitar Rp4,688 per liter).
Kemudian tarif cukai minuman berpemanis di Filipina berkisar Rp1.800 sampai Rp3.600 per liter, Thailand Rp2.200 per liter, dan Malaysia Rp1.500 per liter.