JAKARTA - Pandemi COVID-19, di sisi lain telah memicu terjadinya lompatan baru transformasi digital di kalangan masyarakat yang ditandai kian masifnya penggunaan internet dengan kebutuhan bandwidth yang juga makin besar. Namun di tengah meningkatnya tren digitalisasi ini, ancaman kejahatan siber (cyber crime) juga makin mengkhawatirkan dengan berbagai modus serangan.
Adopsi teknologi digital dan penggunaan internet di saat pandemi menunjukkan peningkatan yang signifikan. Tak hanya di dunia usaha dan industri (bisnis), berbagai institusi dan organisasi, termasuk lembaga pemerintah, juga banyak yang meningkatkan adopsi teknologi informasi dan digitalisasi untuk menopang aktivitasnya. Termasuk dalam upaya memberikan kemudahan layanan bagi masyarakat atau pelanggan di tengah pandemi melalui sistem berbasis online.
Wabah COVID-19 juga memaksa dan menyadarkan banyak kalangan masyarakat, bahwa segala sesuatu menjadi mungkin dilakukan melalui jaringan internet yang membuat ruang siber kian marak dengan berbagai aktivitas. Mulai dari bersosialisasi, aktivitas belajar (pendidikan), mencari nafkah (work from home/WFH), transaksi keuangan dan bisnis, belanja online, pembayaran keuangan secara digital, hiburan, dan aktivitas online lainnya.
Berdasarkan survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2019 hingga kuartal II tahun 2020 (awal terjadinya wabah COVID-19 di Indonesia), jumlah pengguna internet di Indonesia mengalami tren yang terus menanjak, mencapai 196,7 juta jiwa, setara dengan 73,7 persen dari populasi penduduk di Indonesia.
Angka tersebut menunjukkan bahwa ruang siber, kini tidak lagi hanya menjadi milik kelompok masyarakat menengah yang "melek internet", tetapi juga menjadi ruang gerak baru bagi masyarakat luas yang terdorong untuk menggunakannya demi memenuhi hajat hidup di tengah pandemi COVID-19 dan era kenormalan baru ini.
Tren meningkatnya digitalisasi ini, menjadi berita baik, terutama terkait meningkatnya kapabilitas masyarakat dalam beradaptasi dengan tuntutan perkembangan teknologi informasi ini. Namun di sisi lain, fenomena ini juga diikuti meningkatkanya ancaman keamanan siber yang juga makin mengkhawatirkan. Apalagi jumlah pengguna internet yang meningkat ini masih banyak yang awam terhadap keamanan siber.
Kondisi ini juga dimanfaatkan para penjahat siber (cyber threat actor) untuk meningkatkan aksi berbagai serangan dengan berbagai modus, mulai dari phishing, Cyber Espionage, ransomware dan serangan lainnya. Indonesia bahkan semakin diuji dengan adanya kasus kebocoran data hingga jutaan dari pengguna situs belanja online beberapa waktu lalu.
Sementara itu, berdasarkan Data Pusat Operasi Keamanan Siber Nasional (Pusopskamsinas) - Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), telah terjadi peningkatan signifikan serangan siber yang terjadi sejak adanya pandemi COVID-19 ini.
Berdasarkan monitoring Pusopskamsinas BSSN terjadi anomali trafik serangan terhadap Indonesia selama 2020, dari 1 Januari hingga Desember 2020 yang mendeteksi 495.337.202 serangan siber terjadi di Indonesia atau meningkat hinga dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Serangan terbanyak berupa malware trojan yang dapat merusak suatu sistem ataupun mencuri data.
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Letjen TNI (Purn) Hinsa Siburian dalam acara bertajuk "ItWorks Webinar Series" mengatakan, pandemi COVID-19 menjadi sebuah disrupsi pada peradaban manusia, di mana telah mengubah pola hidup dan pola kerja seluruh bangsa di dunia. Masyarakat menurutnya, kini semakin tergantung dengan pemanfaatan internet.
Namun di sisi lain, peningkatan aktivitas digital di saat pandemi COVID-19 juga berbanding lurus dengan meningkatnya serangan siber yang juga meningkat signifikan, menyerang hampir seluruh wilayah dunia, termasuk Indonesia.
BACA JUGA:
"Ancaman dan Risiko serangan siber naik seiring dengan semakin banyaknya pengguna internet dan aktivitas digital masyarakat. Pada beberapa kasus yang terjadi pada masa pandemi ini, threat actor juga terus meningkatkan serangan, termasuk memanfaatkan isu COVID-19. Indonesia pun terdampak oleh kasus keamanan siber global ini. Serangan siber bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja," ujar Hinsa Siburian dalam keterangan yang diterima, Rabu 17 Maret.
Ia menambahkan bahwa, meningkatanya kerentanan dan meningkatnya ancaman kejahatan siber ini, di sisi lain harus diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan pentingnya menjaga dan meningkatkan ketahanan dari adanya ancaman kejahatan dunia maya ini.
"Presiden Joko Widodo dalam suatu kesempatan menandaskan pentingnya perlindungan data dan keamanan siber di era digital ini. Dalam pidatonya 16 Agustus 2019, Presiden Jokowi sudah berpesan dan mengatakan: Kita harus siaga menghadapi ancaman kejahatan siber, termasuk kejahatan penyalahgunaan data. Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, kini data lebih berharga dari minyak. Nah dalam hal ini, tugas BSSN RI adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang keamanan siber dan sandi untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dalam bidang pertahanan keamanan, kita juga harus tanggap dan siap menghadapi perang siber ini," paparnya.
Tri Haryanto, selaku Manager IT PT Jasa Raharja (Persero) membagikan pengalaman sebagai orang yang bertanggung jawab di bidang ICT PT Jasa Raharja yang juga telah menggunakan solusi keamanan untuk mendukug operasional kantor pusat, cabang, dan juga mendukung kinerja karyawan yang melakukan WFH di tengah pandemi COVID-19 ini.
"Di tengah pandemi kami telah menerapkan sisitem kerja yang fleksibel, works from anywhere dengan perangkat mobile dengan sistem jaringan IT terintegrasi. Termasuk hubungan dengan kantor cabang, karyawan, dan juga pelanggan. Tentu ini sangat membutuhkan jaringan yang bisa diandalkan dan secure. Bisa dibayangkan jika sistem jaringan diretas, operasional kami pun akan terhambat. Karena itu, kami sangat konsen dalam hal ini, kami telah menggunakan solusi dari Fortinet dan sejauh ini bisa mendukung kelancaran operasional kami, baik di pusat maupun hubungan dengan seluruh kantor cabang," ujarnya.