Bagikan:

JAKARTA - Direktur Sistem Manajemen Investasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Saiful Islam memastikan akan terus mengevaluasi kebijakan fiskal untuk sektor perumahan.

“Kami akan terus evaluasi. Upaya menutupi backlog perumahan masih membutuhkan kehadiran fiskal,” kata Saiful dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 31 Mei.

Sebagai informasi, kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam beleid itu, pekerja diwajibkan menjadi peserta dan menyetor 3 persen dari pendapatan sebagai simpanan Tapera.

Ketentuan tersebut mewajibkan pekerja untuk membayarkan iuran perumahan rakyat sebesar 2,5 persen dari upah dan 0,5 persen dibayarkan oleh pemberi kerja.

Iuran Tapera efektif berlaku paling lambat tujuh tahun setelah penetapannya atau pada tahun 2027.

Dasar penetapan PP 21/2024 mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera.

Sehingga Badan Pengelola (BP) Tapera ditunjuk menjadi institusi untuk menyelesaikan persoalan backlog kepemilikan rumah melalui skema tabungan peserta.

Saiful menyampaikan program Tapera sudah disepakati oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2016.

Sebab itu, kebijakan tersebut tidak ada kaitannya antara kebijakan sekarang dengan penerimaan negara.

"Kita ingin pastikan program Tapera ini bukan program baru ini, jadi ini program ditetapkan tahun 2016 terkait perumahan," jelasnya.

Saiful menyampaikan terdapat tiga skema pengelolaan dana yang telah dilakukan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera sejak resmi dibentuk sebagaimana dalam amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera.

Adapun yang pertama yaitu dana modal kerja BP Tapera yang diberikan pemerintah melalui APBN 2018 sebesar Rp2,5 triliun yang diperuntukkan untuk pemenuhan biaya operasional berbagai program serta investasi BP Tapera.

Selanjutnya yang kedua, berasal dari Dana aset dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS) yang dialihkan ke BP Tapera pada 2018 sebesar Rp11,88 triliun. Lantaran Bapertarum-PNS berhenti beroperasi karena terbitnya UU 4/2016 yang kemudian fungsinya dilanjutkan oleh BP Tapera.

“Dana peserta aparatur negeri sipil (ASN) eks Bapertarum-PNS saat ini belum dilanjutkan karena Peraturan Menteri Keuangan (PMK) belum dikeluarkan,” jelas Saiful.

Kemudian ketiga yaitu sejak 2010 hingga kuartal I 2024, total dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang diterima oleh BP Tapera mencapai Rp105,2 triliun.

“Justru yang terjadi adalah APBN setiap tahun, paling tidak sampai 2024, mengalokasikan sebagian dari investasi FLPP (ke BP Tapera), yang diharapkan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam bentuk rumah murah,” ujar dia.

Menurut Saiful, Pemerintah justru membantu menambah dana untuk memenuhi ketersediaan perumahan melalui skema FLPP.

"Sementara Tapera, simpanan masuk by NIK by Address dan historical dari masing-masing dana tersebut," tuturnya.

Dana yang dihimpun oleh BP Tapera akan dimanfaatkan untuk memberikan kemudahan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Tapera atau Kredit Bangun Rumah (KBR) Tapera bagi masyarakat yang belum memiliki rumah.

Sementara bagi masyarakat peserta Tapera yang telah memiliki rumah, bisa mengambil tabungannya saat usia pensiun.

Saiful menambahkan, Pemerintah masih memiliki beberapa program fiskal lainnya untuk mengatasi persoalan backlog rumah.

Seperti, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 120/2023 tentang insentif Pajak Pertambahan Nilai atas Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 50 persen hingga 100 persen untuk hunian dengan harga jual tertinggi Rp5 miliar.

Kemudian, dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 11 Tahun 2023 terkait pemberian Bantuan Biaya Administrasi (BBA) senilai Rp4 juta per rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Selain itu, ada dukungan rumah bagi masyarakat miskin melalui bantuan Rumah Sederhana Terpadu (RST), yakni insentif fiskal sebesar Rp20 juta yang pemberiannya dikoordinasikan oleh Kementerian Sosial.