Bagikan:

JAKARTA - Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyampaikan tantangan terbesar dalam sektor perumahan rakyat adalah besarnya angka backlog.

Sebagian besar masyarakat, sekitar 82 persen, sudah terkategori memiliki rumah sendiri. Hanya sekitar 18 persen keluarga Indonesia yang terkategori belum memiliki rumah.

Yusuf menyampaikan dengan jumlah rumah tangga sekitar 67 juta, maka 18 persen keluarga yang belum memiliki rumah ini setara dengan sekitar 12,7 juta rumah tangga.

"Inilah angka backlog. Untuk menurunkan angka backlog pemerintah memberikan subsidi bunga kredit (SBK) perumahan dan subsidi bantuan uang muka (SBUM) perumahan," jelasnya kepada VOI, Selasa, 4 Juni.

Menurut Yusuf, Backlog sebesar 12,7 juta unit rumah sebagian besar berasal dari kelas terbawah, dengan daya beli yang sangat rendah.

Selain itu, lanjut Yusuf, dengan skema pembiayaan kepemilikan rumah sesederhana dan seringan mungkin, kelompok bawah akan selalu sulit dan tidak mampu memiliki rumah.

Terakhir pada APBN 2024, pemerintah mengalokasikan SBK perumahan Rp4,6 triliun dan SBUM perumahan Rp0,9 triliun.

"Jika kita ingin menghapus backlog 12,7 juta pada 2045, dengan tambahan permintaan rumah sekitar 750.000 unit per tahun, kita membutuhkan pasokan rumah rakyat setidaknya 1,3 juta unit per tahun untuk mencapai zero backlog pada 2045," tuturnya.

Yusuf menjelaskan, pasokan rumah rakyat saat ini hanya di kisaran 250 .000 unit per tahun. 

Sebab itu, membutuhkan sejumlah perubahan fundamental untuk pembangunan perumahan rakyat ini.

Menurut Yusuf, beberapa kebijakan fundamental untuk akselerasi pembangunan 1 juta unit rumah rakyat per tahun ini, yang krusial setidaknya ada 2 hal utama.

Pertama, dikembalikannya Kementerian Perumahan Rakyat. Sejak penggabungan Kementrian PU dan Kementrian Perumahan Rakyat, pembangunan perumahan rakyat menjadi cenderung terabaikan, kalah dari gemuruh pembangunan infrastruktur di era Presiden Jokowi.

Alokasi anggaran untuk pembangunan perumahan rakyat selalu minimalis.

Yusuf menyampaikan, dengan kebijakan afirmatif yang kuat, alokasi anggaran SBK perumahan dan SBUM perumahan dapat ditingkatkan melalui realokasi anggaran.

"Misal subsidi kendaraan listrik yang merupakan solusi palsu untuk transisi energi sebaiknya dihapus dan anggaran-nya sebesar Rp7 triliun akan membuat alokasi SBK perumahan dan SBUM perumahan melonjak menjadi dua kali lipat dr alokasi saat ini," ucapnya.

Kebijakan kedua yakni pemerintah harus serius mendorong efisiensi perbankan dan menekan suku bunga KPR perbankan nasional yang masih sangat tinggi.

Suku bunga KPR saat ini masih sangat tinggi dibandingkan negara lain.

Yusuf menyampaikan, kredit rumah yang sangat mahal dan berisiko tinggi inilah salah satu penyebab utama tingginya angka backlog.

Hal itu menjadi krusial bagi pemerintah dan juga OJK untuk mengarahkan perbankan agar menurunkan tingkat keuntungan mereka dan terus menurunkan suku bunga KPR serta membuatnya bersifat semakin flat.

"Bila suku bunga KPR di Singapura hanya di kisaran 3 persen, di Malaysia 5 persen, di Thailand 6 persen, maka di Indonesia di kisaran 10 persen. Dengan suku bunga KPR tinggi dan umumnya bersifat floating, maka peminjam KPR selain dibebani biaya yang sangat mahal juga beresiko tinggi bila terjadi kenaikan suku bunga di masa depan," tuturnya.