Bagikan:

JAKARTA - Emiten produsen nikel PT PAM Mineral Tbk (NICL) mencatat laba bersih Rp12,2 miliar pada kuartal I-2024. Raihan tersebut mengalami penurunan 78,92 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat Rp56 miliar.

"Penurunan tersebut disebabkan karena persetujuan RKAB entitas anak (IBM), yang baru disetujui pada akhir Februari, sehingga total penjualan yang tercatat pada triwulan I 2024 hanya merupakan penjualan selama Maret," kata Direktur Utama NICL Rudy Tjanaka mengutip Antara.

Dari segi kinerja keuangan, perseroan mencatatkan penjualan sebesar Rp116,7 miliar, turun 54,98 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2023 sebesar Rp259,4 miliar.

Rudy menilai penurunan ini disebabkan oleh penurunan volume produksi nikel karena RKAB perseroan (NICL) baru terbit pada Mei 2024, namun perseroan berhasil melakukan efisiensi beban pokok pendapatan dengan meningkatkan margin laba kotor pada triwulan I 2024 menjadi 37,07 persen dari 36,92 persen pada triwulan I 2023.

Seiring dengan menurunnya penjualan, laba usaha perseroan juga mengalami penurunan yang mana tercatat sebesar Rp19,5 miliar atau menurun 74,85 persen dibandingkan dengan periode sebelumnya yang sebesar Rp77,8 miliar. Sehingga, dari sisi laba bersih, perseroan hanya mencatatkan keuntungan pada triwulan I 2024 sebesar Rp12,2 miliar.

Rudy menjelaskan kinerja keuangan perusahaan yang menurun tersebut memang masih dapat dipahami karena berbagai faktor. Pada triwulan I 2024, terdapat tekanan oversupply atas komoditas nikel yang terjadi di Indonesia menyebabkan penurunan harga yang signifikan.

Berdasarkan data Ditjen Minerba Kementerian ESDM, harga acuan nikel sejak periode September 2023 hingga Maret 2024 telah mengalami penurunan sebesar 23,08 persen. Hal ini berdampak negatif bagi emiten pertambangan nikel di Indonesia, tak terkecuali NICL.

Kemudian, dari sisi neraca, perseroan mencatatkan total aset pada triwulan I 2024 sebesar Rp881,7 miliar, tumbuh signifikan dibandingkan dengan total aset pada triwulan I 2023 yaitu sebesar Rp692,1 miliar.

Di sisi lain, total utang pada triwulan I 2024 tercatat sebesar Rp123,9 miliar atau tidak berubah signifikan dari periode sebelumnya sebesar Rp119,9 miliar.

Lebih lanjut, Rudy menjelaskan bahwa pada triwulan II 2024 situasi geopolitik yang saat ini berkembang, di antaranya yaitu meluasnya sanksi AS dan Inggris terhadap Rusia terhadap ekspor bahan mentah dan larangan penjualan di London Metal Exchange (LME) dan Chicago Mercantile Exchange (CME).

Selain itu, insiden di Kaledonia Baru yang mempengaruhi operasional perusahaan pertambangan nikel yaitu terganggunya aktivitas produksi tambang dan beberapa pertambangan nikel di Australia mengalami gangguan pasokan akibat faktor biaya.

Akibat beberapa sentimen ini, pasokan bijih nikel dunia terutama di Kaledonia Baru dan Australia tidak normal, yang diperkirakan dapat menjadi katalis positif untuk kenaikan harga dalam rantai industri nikel ke depannya.

Hal ini tercermin dengan meningkatnya harga acuan nikel di akhir April 2024 sudah meningkat 8,76 persen menjadi 17.424,52 dolar AS/dmt dibandingkan dengan periode Maret 2024 yang berada pada level 16.021,67 dolar AS/dmt.

Perseroan meyakini bahwa adanya beberapa sentimen positif tersebut, dan telah disetujuinya RKAB untuk tahun 2024, perseroan akan menggenjot produksi dan penjualan yang kemudian akan berdampak positif terhadap kinerja keuangan perseroan.

Pada semester II 2024, Rudy mengungkapkan rencana NICL untuk berproduksi sesuai kapasitas RKAB.

"Perseroan menilai bahwa dengan terganggunya proses produksi tersebut di atas, yang membuat terbatasnya suplai nikel pada akhir triwulan I 2024 hingga awal triwulan II 2024, maka dengan adanya penambahan kapasitas produksi dan keluarnya RKAB diharapkan dapat meningkatkan harga jual yang berkelanjutan yang kemudian akan meningkatkan average selling price (ASP) perseroan," kata Rudy.

NICL menargetkan pencapaian penjualan hingga akhir tahun 2024 ini sebesar Rp1,289 triliun dengan target laba sebelum pajak sebesar Rp352 miliar. Perseroan berkeyakinan dengan iklim usaha industri yang kondusif, perseroan dapat mencapai target kinerja keuangan di atas.