Bagikan:

JAKARTA - Permintaan nikel global meningkat seiring dengan maraknya mobil listrik. Di Indonesia sendiri, ada tiga provinsi yang merupakan daerah utama peleburan nikel, yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara.

Meski begitu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, dampak hilirisasi nikel di ketiga daerah tersebut tak akan bertahan dalam jangka panjang.

Pasalnya, salah satu dampak yang ditimbulkan oleh operasional pengolahan nikel, yakni degradasi lingkungan telah menyebabkan kemerosotan dalam jumlah nilai mata pencaharian pada nelayan dan petani di sekitar kawasan industri.

"Peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja hanya akan terjadi pada tahun ke-3, yakni saat tahap konstruksi pabrik. Kemudian, cenderung menurun hingga tahun ke-15 seiring dampak negatif dari kehadiran industri nikel berpengaruh ke serapan kerja sektor usaha lainnya, khususnya pertanian dan perikanan," ujar Bhima di Jakarta, Selasa, 20 Februari.

Bhima menambahkan, dampak negatif dari industri ini terhadap lingkungan dan produktivitas pertanian maupun perikanan akan mulai mempengaruhi total output perekonomian serta menurun secara drastis setelah tahun ke-8.

"Meskipun diklaim terdapat masa depan yang menjanjikan dan peluang sangat besar bagi negara yang bisa didapat industri nikel, dampaknya terhadap masyarakat sekitar terutama kesehatan dan sumber mata pencaharian, menempatkan mereka pada risiko yang besar," ucapnya.

Dia menambahkan, hal ini juga tak terlepas dari keberadaan operasional Pembangkit Listrik Batu Bara Captive yang keberadaannya melekat pada kawasan industri, khususnya pengolahan nikel.

Menurut Bhima, pengolahan bijih nikel kadar rendah memerlukan banyak energi dan Indonesia bergantung pada tenaga batu bara. Dari 10,8 GW kapasitas operasi seluruh pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia, lebih dari 75 persen atau 8,2 GW didedikasikan untuk pengolahan logam.

"Dari jumlah tersebut, nikel saja mengkonsumsi tiga perempatnya atau sekitar 6,1 GW," kata dia.

Sekadar informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melarang ekspor bijih nikel sejak 2020 silam. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pendapatan negara dengan hanya mengekspor nikel olahan.

Pelarangan ekspor bijih nikel dan peningkatan pengolahan domestik memang telah meningkatkan nilai ekspor nikel dari 4 miliar dolar AS pada 2017 menjadi 34 miliar dolar AS pada 2022 atau meningkat sebesar 750 persen.

Namun, klaim dampak positif dari hilirisasi nikel seringkali mengabaikan efek terhadap risiko lingkungan hidup maupun kesehatan masyarakat.