Bagikan:

JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah memberikan insentif lebih besar kepada industri daur ulang dari produk hilirisasi bijih nikel.

Hal ini untuk mendorong hasil dari produk hilirisasi bijih nikel bisa digunakan sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik di pasar global, seperti di Eropa, Amerika Serikat dan banyak negara lainnya.

"Untuk menghindari dampak negatif atau ekonomi yang sebenarnya kecil dan semu dari hilirisasi industri, maka jawabannya adalah memberikan insentif lebih besar kepada industri daur ulang dari baterai (kendaraan listrik)," ujar Bhima di Jakarta, Selasa, 20 Februari.

"Sehingga, tidak terus mengekstraksi dan ini ternyata menjadi salah satu tren yang terjadi di Amerika Serikat, Eropa, di banyak negara mereka memberikan insentif untuk melakukan daur ulang (recycle)," tambahnya.

Bhima menambahkan, pemerintah diminta juga tidak memberikan perpanjangan insentif bagi industri smelter yang memiliki tingkat emisi sangat tinggi.

"Insentif seperti tax holiday, tax allowance yang sampai 30 tahun sebelumnya diberikan ke industri smelter nikel itu harus diberikan kepada industri daur ulang baterai. Jadi ada pergeseran," ucapnya.

Menurut Bhima, ada kebijakan lain yang bisa diberikan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut.

Salah satunya dengan memberikan bea keluar 0 persen untuk ekspor produk dari daur ulang baterai.

Masih kata Bhima, hal ini sesuai dengan regulasi yang dimiliki Uni Eropa soal 30 persen kebutuhan dari critical mineral akan diambil dari daur ulang dalam negeri mereka.

"Ini juga akan menjadi ancaman serius kalau kami terus menerus melakukan ekspor produk olahan nikel, karena mereka juga tidak mau terlalu bergantung pada nikel impor," imbuhnya.