Anggota Komisi VII DPR Minta BPK Audit Menyeluruh Program Hilirisasi Nikel
Ilustrasi - Hasil olahan bjih nikel. (PT. Antam Tbk)

Bagikan:

JAKARTA – Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Mulyanto meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Ri melakukan audit secara menyeluruh terhadap program hilirisasi nikel yang tengah digenjot pemerintah.

Sebab hingga saat ini, pernyataan-pernyataan pemerintah terkait program hilirisasi nikel dinilai hanya glorifikasi yang masih harus dibuktikan. Termasuk, pengakuan Presiden Joko Widodo bahwa program ini belum menguntungkan dalam jangka pendek dan baru akan terasa manisnya dalam jangka panjang.

Menurut Presiden, melalui hilirisasi pendapatan per kapita RI bisa melesat dalam beberapa tahun ke depan. Berdasarkan perhitungannya dalam sepuluh tahun ke depan, pendapatan per kapita dapat mencapai Rp153 juta, dalam 15 tahun mencapai Rp217 juta, dan dalam 22 tahun mencapai Rp331 juta.

“Saya meragukan besar penerimaan negara dari hilirisasi nikel ini. Karena itu, saya mendesak agar BPK dapat mengaudit secara komprehensif program ini,” ujar Mulyanto dalam keterangan tertulis, Minggu (20/8).

Dia menjelaskan, sebelumnya Pemerintah mengkontraskan antara pendapatan ekspor bijih nikel tahun 2019 sebesar Rp17 triliun dengan pendapatan ekspor program hilirisasi nikel tahun 2022 sebesar Rp510 triliun. Padahal, dari data kementerian terkait, diketahui bahwa penerimaan negara dari perpajakan hilirisasi nikel tahun 2022 hanya sebesar Rp17,96 triliun, atau sekitar 3,5 persen dari total hasil ekspor Rp510 triliun. Sebagian besar sebanyak 96,5 persen lari ke proses produksi, pekerja dan investor asing.

Sementara itu, dari ekspor bijih nikel tahun 2019, diperoleh dana hasil ekspor sebesar Rp15,5 triliun. Dari nilai itu, penerimaan negara dari pajak ekspor saja sebesar Rp1,55 triliun atau sebesar sepuluh persen. Belum lagi penerimaan negara dari PNBP, ppn, dan pph badan. Kemudian juga, sisanya masuk ke investor dan penambang nasional.

“Artinya secara persentase terlihat, penerimaan negara dari program hilirisasi nikel jauh lebih rendah dari ekspor bijih nikel secara langsung,” tambah Mulyanto.

Belum lagi, lanjut politisi dari Fraksi PKS itu, kalau penerimaan negara tersebut dihitung berdasarkan rasio terhadap tonase bijih nikel yang dikeruk. Maka akan semakin terlihat, bahwa keuntungan negara dari hilirisasi nikel dengan model seperti sekarang ini masih sangat rendah.

Penyebabnya karena 90 persen produk yang diekspor adalah barang setengah jadi dengan nilai tambah rendah, yakni NPI dan Feronikel. Sementara pemerintah memberikan insentif yang mewah, mulai dari harga bijih nikel untuk smelter yang setengah dari harga internasional, tax holiday PPH badan, bebas pajak ekspor, termasuk kemudahan mendatangkan alat-mesin dan TKA.

Karena itu, dia menilai perlu adanya data yang akurat dan objektif dari audit BPK. Bukan sekedar klaim sepihak dari Pemerintah, apalagi terkait dengan data penerimaan negara dari program hilirisasi nikel ini.

“Ini penting agar program hilirisasi nikel on the track dan dapat mencapai tujuannya yakni meningkatkannya nilai tambah ekonomi SDA dan kesejahteraan rakyat,” tutup Mulyanto.