Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit kebenaran data penerimaan negara dari program hilirisasi nikel. Mulyanto menilai peningkatan penerimaan tersebut tidak masuk akal.

“Agar fair BPK harus dapat memastikan berapa nilai penerimaan negara sebenarnya dari program hilirisasi nikel ini. Sebab angka yang disampaikan Pemerintah terlalu bombastis dan tidak masuk akal," ujar Mulyanto yang dikutip Rabu 16 Agustus.

Mulyanto menilai, klaim Pemerintah yang diulang-ulang oleh Presiden Jokowi, akan adanya kenaikan signifikan terkait ekspor nikel dari Rp17 triliun menjadi Rp510 triliun pada tahun 2022 merupakan hal yang sangat janggal, sekaligus meragukan.

Mulyanto menduga, angka tersebut bukanlah jumlah penerimaan negara melainkan total nilai ekspor nikel oleh perusahaan smelter asing yang ada di Indonesia.

"Jangan-jangan angka itu bukan penerimaan negara, namun sekedar angka ekspor nikel yang dilakukan oleh industri smelter asing, yang keuntungannya terutama dinikmati oleh investor smelter tersebut. Dan sama sekali, bukan merupakan penerimaan negara. Ini kan beda jauh tafsirnya," ujar Mulyanto.

Hal ini yang kemudian dikritik ekonom senior Faisal Basri.

Oleh karena itu, Mulyanto mendesak Pemerintah transparan dalam menyatakan besaran penerimaan negara dari hilirisasi nikel, demi mencegah adanya salah tafsir di masyarakat.

Ia menyebut, Pemerintah perlu menjelaskan secara gamblang sumber penerimaan negara tersebut.

Terlebih, kata Mulyanto, industri smelter selama ini mendapat tax holiday pph badan, tidak membayar PNBP (penerimaan negara bukan pajak), serta bebas dari pajak ekspor. Bahkan, penerapan pajak ekspor produk hilirisasi nikel setengah jadi (NPI) pun baru direncanakan akan berlaku pada tahun 2022, namun tertunda hingga hari ini.