Pengusaha Tegaskan SPA Tak Masuk Industri Hiburan
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum Indonesia Welness SPA Professional Association (IWSPA) Yulia Himawati menolak atas dimasukannya bisnis spa ke dalam industri hiburan.

Menurutnya, berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Nomor 11 Tahun 2019 tentang Standar Usaha Spa, bisnis atau usaha spa tidak termasuk ke dalam kategori industri hiburan, melainkan masuk ke dalam industri kesehatan.

Dalam aturan itu disebutkan usaha spa merupakan usaha yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan atau minuman, dan olah aktivitas fisik yang bertujuan untuk menyeimbangkan jiwa raga dengan memperhatikan tradisi serta budaya Indonesia.

“Bisnis spa yang dimasukan ke dalam jenis hiburan itu membuat kami kecewa dan membuat kami melihat kembali kementerian yang menaungi kami, yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,” ujar Yulia dalam keterangan resminya dikutip Jumat, 19 Januari.

Dia menilai, ada beberapa hal yang mendasari hal tersebut pertama adanya tumpang tindih aturan yaitu, UU HKPD bertentangan dengan UU Nomor 10 tahun 2010 tentang Kepariwisataan.

Terutama dalam pengelompokan jenis usaha yang termasuk ke dalam objek Pajak Barang dan jasa Tertentu (PBJT).

"Dalam Pasal 50 dan Pasal 55 UU HKPD, pemerintah mengelompokkan jasa SPA ke dalam jasa kesenian dan hiburan. Padahal, di dalam Pasal 14 UU Pariwisata, usaha SPA tidak merupakan jenis usaha yang berbeda dengan penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi," tuturnya.

Layanan SPA, kata dia, lebih tepatnya dikelompokkan berbeda dari kegiatan usaha hiburan atau rekreasi sebagaimana yang diatur di dalam UU Pariwisata.

Apalagi, lanjutnya, secara definisi SPA memang bukan bagian dari aktivitas hiburan melainkan perawatan Kesehatan.

Selain itu, SPA juga merupakan bagian dari wellness sebagai payung besarnya. Itu sebabnya, lebih tepat disebut sebagai SPA Wellness, yang tujuannya mencakup Kesehatan promotion dan prevention.

Yulia menambahkan, hal ini diperkuat dengan tercakupnya SPA sebagai salah satu Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan yang diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 Tahun 2023.

Beleid ini mendefinisikan SPA sebagai terapi dengan karakteristik tertentu yang kualitasnya dapat diperoleh dengan cara pengolahan maupun alami.

Yulia berharap, pemerintah untuk segera meninjau kembali, ketentuan mengenai pengelompokan SPA sebagai bisnis hiburan.

"Kami khawatir jika dibiarkan akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam kegiatan usaha di Indonesia," ujarnya.

Menurut Yulia, Spa wellness merupakan komoditas kesehatan bukan hiburan lantaran Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 700 suku bangsa dan masing-masing suku bangsa memiliki kekayaan yang berbeda-beda, namun dan ada yang sama karena satu suku budaya serumpunnya di bidang kesehatan dan kebugaran.

Oleh karena itu, Yulia meminta, usaha spa wellness yang sesuai standar dari pemerintah hendaknya mendapat insentif pajak khusus untuk bisa berkembang membangun ekonomi bangsa.

"Dengan kondisi seperti ini kami baru bisa menemukan 15 etnik pola pengobatan untuk kesehatan dan kebugaran dengan berbagai bukti empirisnya yang di lakukan oleh para Ahli yang tergabung dalam Assosiasi IWMA yang dikenal dengan ETNAPRANA," jelasnya.