Bagikan:

JAKARTA - Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengungkapkan jika Bahan Bakar Minyak (BBM) masih menjadi problem utama bagi nelayan Indonesia untuk tetap bertahan (survive) dalam menjalankan aktivitas perekonomiannya.

Kesimpulan ini diambil dari hasil survei Indef bersama beberapa lembaga kepada 5.292 nelayan tradisional di 20 kota pada 10 provinsi. Survei ini dilakukan pada 1 April 2021.

"Problemnya memang 82 persen responden sulit mengakses BBM kemudian 21 persen kesulitan akses pasar dan 2 persen sulit mengakses pembiayaan," ujar Tauhid dalam diskusi dengan media, Rabu, 8 Maret.

Dia mengungkapkan, jika 62 persen responden mengaku kesulitan mengakses administrasi sulit akses administrasi pelayanan untuk akses BBM.

Menurutnya, situasi ini menjadi isu kritis keberpihakan pemerintah dalam menyalurkan subsidi energi lebih tepat sasaran.

"Ini adalah isu yang serius dan isu yang kritis mengenai keberpihakan pemerintah. Pemerintah memberi subsidi nelayan dan seberapa jauh subsidi yang diberikan bisa mengurangi beban nelayan," lanjut Tauhid.

Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Suprayoga Hadi mengungkapkan, sejumlah tantangan dalam kebijakan subsidi elpiji bagi nelayan antara lain subsidi yang masih diberikan pada komoditas sehingga masih terdapat disparitas harga.

"Kemudian kendala pada sistem pengawasan yan perlu diperkuat. Pada konversi minyak tanah ke elpiji tahun 2007 awalnya berlangsung baik tapi karena pengawasan yang kurang efektif pengguna elpiji bersubsidi membengkak," ujarnya.

Menurutnya, perlu diputuskan tujuan pemberian subsidi untuk nelayan, apakah untuk produktivitas nelayan atau sebagai instrumen peningkatan kesejahteraan.

"Jika tujuannya untuk peningkatan produktivitas maka diberikan kepada nelayan tanpa memandang tingkat kesejahteraan. Jika tujuannya sebagai instrumen kesejahteraan nelayan miskin maka dapat menggunakan data terpadu yang tersedia seperti P3KE atau Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem," beber Hadi.

Dan tantangan terakhir adalah data P3KE memiliki variabel jenis pekerjaan nelayan tetapi tidak memiliki variabel kepemilikan kapal.

"Variabel ada tapi memang pemilikan kapal tidak ada. Paling tidak dari sisi status pekerjaannya ada jadi sudah bisa identifikasi jumlah nelayan," pungkasnya.