JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu mengantisipasi segera dampak subsidi energi terhadap defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan, hal ini agar tambahan subsidi dan kompensasi energi tidak sampai menyebabkan defisit APBN 2023 melampaui tiga persen terhadap PDB. Abra menegaskan, pemerintah perlu melakukan transformsi kebijakan subsidi energi sebagai langkah antisipasi terhadap hal tersebut.
"Pemerintah perlu secepatnya melakukan transformasi kebijakan subsidi energi dari mekanisme terbuka menjadi subsidi tertutup dan tepat sasaran," kata Abra dalam diskusi Indef secara daring, pada Selasa, 14 Februari.
Menurut Abra, revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang segmentasi konsumen BBM subsidi perlu secepatnya direalisasikan, begitu juga dengan optimalisasi pendataan konsumen BBM dan LPG subsidi melalui platform My Pertamina.
"Upaya ini dapat menjadi instrumen transisi dalam mereformasi kebijakan subsidi energi nasional," ujarnya.
BACA JUGA:
Dengan masih berlakunya skema subsidi terbuka BBM dan LPG di tengah berlanjutnya fase pemulihan ekonomi, kata Abra, maka semakin memperbesar risiko lonjakan permintaan BBM dan LPG subsidi. Hal tersebut dikhawatirkan melampaui kuota subsidi dari yang sudah ditetapkan.
"Kondisi ini turut menjadi sumber risiko terhadap pembekakan subsidi dan kompensasi energi di tengah tahun konsolidasi fiskal," ungkap Abra.
Di tengah situasi tingginya ketidakpastian geopolitik global, Abra menegaskan pemerintah harus mengambil pelajaran dari pengalaman 2022. "Saat harga energi melonjak tajam, pemerintah menambah anggaran subsidi energi hingga Rp502,4 triliun demi meredam inflasi," pungkasnya.