Bagikan:

JAKARTA – Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan keputusan pemerintah untuk melakukan reformasi subsidi energi pada tahun ini dinilai tepat.

Menurut dia, masih ada ruang diskresi dalam APBN 2022 terkait defisit dan soal ongkos politik yang akan makin besar jika ditunda.

“Momentum reformasi kebijakan subsidi energi harus segera dipercepat di semester dua ini. Sebab, ini akan membuat perubahan drastis kebijakan subsidi energi,” ujarnya dalam keterangan tertulis dikutip Senin, 19 September.

Menurut Abra, kebijakan tersebut akan menimbulkan beberapa implikasi, seperti inflasi meski sifatnya temporer, serta resistensi dan pro-kontra dari masyarakat terhadap kebijakan baru.

“Momen reformasi di tengah tahun kedua ini juga akan memungkinkan dilakukannya evaluasi. Jadi, ketika dampak negatifnya cukup luas dan besar, pemerintah bisa melakukan penyesuaian atau penyempurnaan kebijakan,” tuturnya.

Dijelaskan bahwa ruang diskresi terkait defisit pada APBN 2022 dan kondisi APBN semester I/2022 yang surplus juga menjadi semakin menguatkan momentum reformasi kebijakan subsidi yang tepat di tahun ini. Dengan demikian, jika terjadi risiko akibat reformasi tersebut masih dapat diredam dengan fleksibilitas APBN.

“Saya pikir momentum tepat adalah di tahun ini dibanding tahun depan saat defisit APBN tidak bisa lagi di atas 3 persen dari PDB. Jika ternyata ada ekses negatif dari kebijakan transformasi subsidi energi, pemerintah masih bisa meredamnya,” tegas dia.

Abra memberi contoh jika subsidi energi oleh pemerintah ditargetkan kepada 40 persen masyarakat terbawah. Namun, pada kenyataannya masyarakat yang berada di 50 hingga 70 persen juga membutuhkan subsidi tersebut.

“Tentu ini perlu dievaluasi seperti apa besaran subsidi yang diberikan, seberapa besar efisiensi yang diciptakan dari perubahan kebijakan subsidi energi secara tertutup,” kata dia.

Senada, Ekonom Universitas Indonesia Teuku Riefky menilai saat ini adalah momentum untuk melakukan reformasi fiskal, terutama subsidi BBM. Menurutnya, Indonesia telah melewati pandemi dan tidak berapa lama lagi akan memasuki tahun politik. Atas kondisi itu maka ongkos politik dianggap masih tidak sebesar jika ditunda ke tahun berikutnya.

“Menurut saya lebih cepat lebih baik karena semakin ditunda, political cost makin besar. Makin dekat pemilu makin mahal ongkos politiknya. Dalam arti lebih banyak yang perlu dinegosiasi dan perlu banyak mendapatkan dukungan politik dari sisi manapun,” ungkap Riefky.