Bagikan:

JAKARTA - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai subsidi bahan bakar minyak (BBM) akan lebih tepat diberikan kepada orang yang membutuhkan ketimbang kepada barang untuk mencegah terjadinya moral hazard (risiko moral).

"Ketika subsidi BBM diberikan dan tiidak ada batas dan penggunanya, pada akhirnya terjadilah moral hazard yang menyebabkan kelangkaan di mana-mana," katanya dalam Rilis Survei Nasional LSI: "Kondisi Ekonomi dan Peta Politik Menjelang 2024" yang dipantau secara daring dikutip dari Antara, Senin, 5 September.

Selain tidak adanya pengawasan dari pemerintah, Pertamina sendiri pun tidak bisa mengawasi konsumsi BBM bersubsidi. Hal itulah yang kemudian menyebabkan jatah BBM bersubsidi yang tanya hanya 23 juta kiloliter membengkak menjadi 29 juta kilo liter dan membebani anggaran negara.

"Makanya sebaiknya subsidi memang ke orang, karena artinya di pasar jauh lebih sama harganya. Seperti sekarang, sejak kenaikan tanggal 3 September 2022, harga di SPBU tidak ada bedanya sehingga orang tidak antre di salah satu SPBU saja yang ada subsidinya karena disparitasnya makin kecil," katanya.

Menurut Aviliani, kebijakan memberikan subsidi ke barang tidak boleh lagi dilakukan di masa mendatang.

"Ini pengalaman yang menurut saya dari beberapa Presiden, pengalaman yang sama itu dilakukan. Nah ini tidak boleh dilakukan lagi, sebaiknya memang ke orang saja," katanya.

Dalam hal ini, Aviliani mengapresiasi langkah pemerintah yang telah lebih dulu memberikan bantuan langsung tunai (BLT) untuk pengalihan subsidi BBM sebelum mengumumkan kenaikan harga BBM.

"Pemerintah sudah benar kemarin, kasih BLT dulu, baru kemudian harga naik. Oleh karena itu, perlu kecepatan dalam menyalurkan BLT agar masyarakat belum mengalami gap (selisih) kenaikan harga (akibat kenaikan BBM)," katanya.

Aviliani memahami piliihan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi untuk bisa menekan pembengkakan APBN. Ia menyebut pembengkakan APBN akan sangat berbahaya jika dibiarkan karena pemerintah nantinya harus menambah defisit anggaran.

Situs Investopedia menyebut angka defisit menunjukkan kesehatan keuangan suatu negara. Semakin besar angkanya, berarti semakin tinggi pula utangnya.

Pilihan untuk menaikkan harga BBM juga dilakukan atas dasar masih banyak penggunaan BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Pemerintah menyebut sekitar 80 persen BBM bersubsidi digunakan oleh industri dan rumah tangga mampu.

"Banyak yang menggunakan (BBM bersubsidi) karena tidak ada pembatasan siapa yang boleh dan siapa yang beli dan siapa yang tidak. Pak Jokowi melihat ini layak untuk disesuaikan. Makanya, lebih bagus BLT diberikan lebih tepat atau langsung kepada orang," katanya.