Tanggapi Hasil Kesepakatan G20 soal Penghapusan Subsidi, Begini Kata Pengamat
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang digelar di Bali pada 15 dan 16 November lalu menghasilkan sejumlah kesepakatan.

Pada poin ke-12 kesepakatan tersebut, negara-negara anggota G20 sepakat untuk memangkas subsidi BBM yang dianggap mendorong konsumsi BBM menjadi lebih boros.

"Kami akan meningkatkan upaya kami untuk mengimplementasikan komitmen yang dibuat pada tahun 2009 di Pittsburgh untuk pemangkasan secara bertahap dan merasionalisasi, dalam jangka menengah, subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien, yang mendorong konsumsi lebih boros," bunyi kutipan poin nomor 12.

Menanggapi bunyi kesepakatan ini, Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, kesepakatan ini mungkin untuk dilakukan, namun sebaiknya pemerintah mempertimbangkan mengubah jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diberi subsidi.

"Solar dan Pertalite yang saat ini disubsidi tidak sesuai dengan Euro 4, nah sebaiknya itu dihapus tapi pemerintah tetap harus berikan subsidi," ujarnya kepada VOI, Senin 21 November.

Ia menambahkan, pemerintah sbeaiknya menghapus BBM jenis subsidi dan solar subsidi dan memberikan subsidi kepada BBM jenis Pertamax yang lebih bersih.

Menurutnya, penghapusan subsidi BBM bukanlah tindakan yang tepat sebab menyalahi konstitusi.

"Jadi, maksud saya yang dihapus adalah BBM yang kotor seperti Pertalite dan Solar tapi subsidinya jangan dihapus karena itu merupakan amanat konstitusi bahwa negara hadir dengan memberikan subsidi. Nantinya subsidi diberikan kepada konsumen pertamax. Kedua, biaya subsidi juga digunakan untuk pengembangan EBT sehingga pada saatnya kita gunakan energi bersi," beber Fahmy.

Ia juga membandingkan pemberian subsidi oleh negara tetangga seperti Malaysia yang bahkan memberikan subsidi kepada BBM RON 95.

"Malaysia saja untuk konsumen RON 95 dapat subsidi juga. Indonesia yang ada amanat konstitusi harus tetap diberi," pungkasnya.