Bagikan:

JAKARTA - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai Indonesia akan sulit keluar dari jebakan pendapatan menengah atau middle income trap hingga 2045.

Faisal mengetakan, hal tersebut karena investasi yang masuk ke Indonesia lebih banyak berbasis otot atau pembangunan fisik.

Sementara investasi untuk meningkatkan kerja otak anak bangsa sangat minim, seperti investasi di bidang informasi dan teknologi (IT) hingga riset.

Berdasarkan data Asia Productivity Organization, kata Faisal, sebanyak 83 persen penanaman investasi di Tanah Air berkaitan dengan konstruksi dan bangunan.

Sedangkan 10 persennya berupa modal bagi non-IT.

Kemudian, lanjut Faisal, hanya 4 persen investasi berkaitan dengan pembangunan transportasi. Lalu, 3 persen investasi di bidang IT.

“Itulah yang pada akhirnya hampir bisa dipastikan Indonesia akan mengalami middle income trap tidak terhindarkan kalau business as usual masih dikerjakan terus seperti sekarang ini,” katanya dalam acara catatan awal Indef 2023, Kamis, 5 Januari.

Data tersebut, sambung Faisal, menunjukkan semakin tingginya pertumbuhan investasi yang masuk ke Tanah Air, namun disayangkan justru kurang berkualitas.

“Jadi dari sini saja menunjukkan semakin besar ini pertumbuhannya semakin tidak berkualitas. karena investasi yang didengung-dengungkan itu sekedar bikin ibu kota, LRT, MRT, kereta cepat,” tuturnya.

Kata Faisal, pembangunan fisik dalam hal ini transportasi memang tidak bisa ditolak. Namun, menurut Faisal, harus dibarengi dengan peningkatan investasi.

“Oke kita tidak menolak tetapi harus diiringi oleh suntikan otak dalam bentuk IT Capital, Other non-IT Capital dan R&D,” ucapnya.

Faisal juga menyayangkan tidak adanya investasi yang masuk ke Indonesia berkaitan dengan riset dan pengembangan atau research and development (R&D).

“Ini disayangkan. Bila R&D kuat maka ada kemampuan inovasi membangun Indonesia supaya semakin berdaya saing,” katanya.

Apalagi, lanjut Faisal, sektor industri Indonesia juga mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan kurangnya riset dan inovasi pada industri di Indonesia.

“Kalau R&D-nya jelek, maka inovasinya juga jelek. Sehingga industrinya jadi tidak berdaya saing,” ujarnya.