Menakar Pembengkakan Utang Rp418 Triliun dalam Empat Bulan, Yakin Masih Aman?
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (Foto: Sekretariat Kabinet)

Bagikan:

JAKARTA – Informasi yang dilansir oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan bahwa utang pemerintah secara konsisten mengalami kenaikan Rp418,2 triliun dalam empat bulan berturut-turut.

Pada Mei lalu total kewajiban RI adalah sebesar Rp7.002,24 triliun. Angka ini kemudian naik menjadi Rp7.123,62 triliun di periode Juni.

Setelah itu, nilai utang pemerintah terus menanjak dengan masing-masing Juli sebesar Rp7.163,1 triliun, Agustus sebesar Rp7.236,6 triliun, dan terakhir September sebesar Rp7.420,4 triliun.

Pemerintah sendiri mengklaim bahwa bukuan utang itu masih tergolong aman walaupun mengalami pembengkakan. Apa dasarnya?

Hal ini tentu saja mengacu pada Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 12 Ayat 3 yang masih berlaku sampai sekarang.

“Jumlah pinjaman (pemerintah) dibatasi maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB),” demikian bunyi beleid tersebut seperti yang dikutip VOI pada Selasa, 25 Oktober.

Rasio Utang Terhadap PDB

Risalah Kemenkeu mencatat jika rasio utang terhadap PDB di Juni 2022 adalah sebesar 39,5 persen. Kemudian sempat turun pada Juli ke level 37,9 persen, lalu naik kembali pada Agustus menjadi 38,3 persen, dan berlanjut naik pada September ke level 39,3 persen.

“Pada 2020-2021 kenaikan rasio utang di Indonesia mencapai 10,8 persen. Secara persentase kenaikan rasio utang tersebut terlihat relatif tinggi, namun peningkatan tersebut sebenarnya relatif rendah dibandingkan dengan negara lain,” ungkap Kementerian pimpinan Sri Mulyani itu menegaskan.

Tapi, apakah utang Indonesia benar-benar aman? Jawabannya bisa iya bisa tidak.

Iya, jika menggunakan acuan rasio terhadap PDB. Namun tidak jika melihat beban yang ditimbulkan.

Asal tahu saja, setiap tahun pemerintah mesti mengeluarkan uang ratusan triliun dari APBN hanya untuk membayar bunga utang. Pemberitaan redaksi sebelumnya menyebutkan bahwa Indonesia setidaknya membayar bunga senilai Rp317,89 triliun pada 2020 atau 19,4 persen dari total pendapatan negara di periode itu.

Malahan jumlah bunga utang yang harus disetor pemerintah melesat jadi Rp405,9 triliun untuk periode 2022. Angka itu setara dengan 17 persen pendapatan APBN sesuai dengan Perpres 98/2022.

Beban Bunga

Kritik bunga utang segaban itu sempat mendapat sorotan tersendiri dari ekonom senior Faisal Basri. “Singapura walaupun beban utangnya 100 persen dari PDB tapi bunganya hanya 1 persen terhadap pendapatan negara, sementara Indonesia itu sudah (hampir) 20 persen dari pendapatan negara,” ujar Faisal.

Akademisi Universitas Indonesia itu menilai, pengenaan bunga tinggi disebabkan oleh strategi Indonesia dalam penerbitan surat berharga dengan rate interest yang menjulang. Hal berbeda akan ditemui apabila dibandingkan dengan negara Merlion atau Singapura.

“Kita memperoleh pinjaman dengan memberikan bunga rata-rata 6 persen. Kalau Singapura 0,1 persen. Ini terjadi karena risiko Indonesia dianggap lebih besar dibandingkan Singapura, seperti political risk, lalu risiko nilai tukar, dan sebagainya,” jelas Faisal.

Sementara itu, pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet sempat bertutur kepada VOI soal penetapan rasio utang 60 persen yang dianggap kurang tepat. Kata dia, persentase tersebut terlalu tinggi untuk negara berkembang seperti Indonesia.

“Rasio utang ini merupakan angka yang diadopsi dari Maastricht Treaty. Angka 60 persen tersebut muncul dari nilai tengah rasio utang pemerintah negara-negara Eropa pada saat itu,” ucap dia.

Menurut Rendy, karakteristik sejumlah besar negara di benua biru jelas berbeda dengan kondisi RI. “Dari sini saja poin kritik bisa disampaikan, karena tentu kondisi fiskal antara negara-negara Eropa dan negara bekembang (yang kemudian mengadopsi angka ini) berbeda,” tuturnya.

Rendy memaparkan, dalam laporan bertajuk Forward-looking Macroeconomic Policies–Re-examining Inflation and Debt Limits yang diterbitkan oleh UNESCAP, terungkap bahwa poin mendasar yang menjadi pembeda.

“Disebutkan angka 60 persen itu lebih cocok untuk negara yang dikategorikan sebagai negara maju. Sementara, rasio utang terhadap negara berkembang disarankan berada pada kisaran level 40 persen dan tidak berlangsung dalam jangka yang cukup panjang,” tegasnya.

Semoga saja pemerintah bisa amanah dalam mengelola keuangan negara sehingga bisa memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia, seperti yang dijanjikan. “Pemerintah tetap berkomitmen untuk terus mengelola utang dengan hati-hati,” kata pemerintah melalui Kementerian Keuangan.