JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini cenderung tidak bisa dihindari karena berasal dari faktor eksternal.
Menurut dia, kondisi itu tidak lepas dari kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserve, yang terus agresif menaikan suku bunga acuan sehingga dolar menjadi lebih kuat dibandingkan dengan mata uang negara lain. Menkeu pun memastikan bahwa pelemahan tidak hanya terjadi pada rupiah tetapi juga terhadap sejumlah mata uang dunia.
“Kalau kita lihat penguatan dolar terjadi secara global dan pasti dalam hal ini rupiah juga tidak terkecuali akan terimbas,” ujarnya saat memberi keterangan pers terkait realisasi APBN, dikutip redaksi pada Senin, 24 Oktober.
Menurut Menkeu, situasi tersebut jelas memberi pengaruh tersendiri terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN.
“Dari sisi APBN, penerimaan negara yang sumbernya dengan nominal valas pasti akan ikut naik secara rupiah, seperti pajak migas maupun dari lainnya,” tutur dia.
Di sisi lain, tekanan justru muncul ketika pemerintah melakukan belanja kebutuhan yang instrumen pembayarannya menggunakan valuta asing.
“Pada belanja maka kita lihat ada pressure pada belanja subsidi (pembelian BBM impor) dan juga bunga utang,” kata dia.
BACA JUGA:
Untuk itu, sambung Menkeu, pemerintah memilih untuk mengerem penarikan utang yang dianggap tidak urgent demi menjaga kesehatan APBN tetap baik.
“Terjadi penurunan tajam dari penerbitan utang yang akan membuat belanja bunga kita di dalam APBN akan lebih rendah,” tegasnya.
Malahan, bendahara negara mencatat nilai realisasi pembiayaan telah berkurang hingga 29 persen sampai dengan penutupan kuartal III 2022.
“Ini bagus karena strategi kita adalah antisipatif dengan situasi yang tidak kondusif secara global melalui issuance surat utang. Ini yang menyebabkan kita cukup terlindungi sekarang,” jelas dia.
Sebagai informasi, hingga bulan lalu APBN masih membukukan kinerja moncer dengan surplus sebesar Rp60,9 triliun. Torehan itu memperpanjang capaian surplus yang telah terjadi sejak Januari lalu.
Adapun, posisi utang pemerintah sampai dengan Agustus 2022 berada di angka Rp7.236,61 triliun dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,30 persen.