JAKARTA – Fenomena terus merosotnya angka kelas menengah di Indonesia seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Jika tidak, jumlah kelas menengah makin tergerus dan berpotensi menghadirkan kelompok miskin baru.
Saat ini kelas menengah menjadi sorotan karena jumlahnya terus menurun. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kelas menengah adalah individu dengan pengeluaran Rp2,04 juta sampai Rp9,9 juta.
Masih dari data yang sama, jumlah kelas menengah di Indonesia pada 2024 sebanyak 47,85 juta jiwa atau sekitar 17,13 persen dari total populasi Indonesia. Jumlah kelas menengah terus menurus dalam beberapa tahun terakhir, terutama sebelum pandemi COVID-19.
Jika dibandingkan di 2019, porsi kelas menengah masih sebesar 21,45 persen atau 57,33 juta jiwa dan kemudian turun menjadi 19,82 persen (53,83 juta jiwa) di 2021.
Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi berharap pemerintah membuat kebijakan yang pro terhadap kelas menengah, sehingga angkanya tidak terus merosot. Karena, kelas menengah disebut sebagai penopang ekonomi Indonesia.
Akibat Deindustrialisasi
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti merinci kelompok kelas menengah di Indonesia berdasarkan kelompok umur. Mayoritas kelas menengah adalah Gen X (lahir periode 1965-1980) yaitu sebesar 24,77 persen. Generasi Milenial (kelahiran 1981-1996) menempati posisi dua dengan persentase 24,60 persen, diikuti Gen Z (kelahiran 1997-2012) sebesar 24,12 persen.
Di sisi lain, penduduk menuju kelas menengah atau aspiring middle class jumlahnya bertambah dari tahun ke tahun. Saat Pandemi COVID-19, jumlah masyarakat kategori ini sebanyak 128,85 juta jiwa atau sekitar 48,20 persen dari total populasi. Lalu pada 2023, jumlahnya tercatat sebesar 136,92 juta jiwa atau 49,47 persen dari total populasi. Kini, jumlahnya kembali naik menjadi 137,5 juta orang atau 49,22 persen.
“Aspiring middle class ini kategorinya adalah kelompok masyarakat yang pengeluarannya antara 1,5 sampai 3,5 kali garis kemiskinan. Kalau yang pengeluarannya 1 sampai 1,5 kali garis kemiskinan itu artinya rentan miskin,” ujar Amalia.
Pandemi COVID-19 disebut memainkan peran besar dalam penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia. Itu ditandai dengan banyaknya warga kelas menengah yang kehilangan pekerjaan atau beralih ke sektor informal. Kelas menengah yang sebelumnya stabil secara ekonomi, sekarang menjadi lebih rentan.
Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengamini fenomena tersebut. Namun menurutnya pandemi bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan penurunan jumlah kelas menengah.
BACA JUGA:
Kelompok kelas menengah terus anjlok angkanya dari tahun ke tahun akibat dari struktur ekonomi yang tidak kuat. Hal ini, dituturkan Fithra, dapat dilihat dari kontribusi sektor manufaktur yang lemah, sehingga menyebabnya tingginya pemutusan hubungan kerja (PHK) serta turunnya kontribusi sektor tersebut terhadap Produk Domestik Bruto atau GDP.
“Kita mengalami suatu gejala yang disebut deindustrialisasi. Artinya, industrinya tidak tumbuh, cenderung anjlok, sehingga lapangan kerja terbatas,” kata Fithra.
Masyarakat kelas menengah yang bekerja di sektor formal memang terus mengalami penurunan selama lima tahun terakhir. Pada 2019, jumlahnya 61,71 persen namun turun menjadi 58,65 persen pada 2023.
Menurut Fithra, sejak pandemi jumlah pekerja di sektor formal menurun karena semakin banyak yang mundur atau keluar ke sektor informal. Mereka yang bekerja di sektor informal umumnya memiliki upah yang relatif rendah. Begitu pula dengan pertumbuhan upah mereka. Ini bukanlah kondisi yang ideal jika dibandingkan dengan peningkatan atau perubahan harga yang relatif lebih tinggi.
Selain itu, para pekerja di sektor informal juga lebih rentan terhadap guncangan ekonomi. Ketika terjadi guncangan, mereka harus merogoh tabungan untuk memastikan bisa bertahan hidup. Di saat bersamaan, tidak semua kelompok kelas menengah yang bekerja di sektor informal mendapatkan jaminan sosial, berupa asuransi tenaga kerja, kesehatan, atau bantuan dari pemerintah.
Kebijakan Pemerintah Tidak Pro Kelas Menengah
Tantangan besar harus dihadapi masyarakat kelas menengah di Indonesia untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi ekonomi mereka di masa depan. Sebagian besar pendapatan mereka juga habis untuk kebutuhan sehari-hari dan ini berimbas pada kesulitan untuk menabung.
Bahkan, tabungan yang dipunya juga malah terkikis demi memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Fenomena ini tercermin dalam data yang menunjukkan bahwa rata-rata tabungan kelompok dengan simpanan kurang dari Rp100 juta hanya Rp1,9 juta per April 2024. Padahal tujuh tahun lalu, kelompok ini rata-rata memiliki tabungan Rp3,4 juta pada Desember 2017.
Tren penurunan ini menunjukkan bahwa masyarakat kelas menengah dan bawah kian sulit menjaga stabilitas finansial.
Di tengah kondisi kelas menengah yang terengah-engah, kebijakan pemerintah juga dinilai makin mempersulit kehidupan kelompok ini. Salah satunya adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang rencananya diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
Meski bertujuan untuk memperbesar penerimaan negara sehingga bisa dibelanjakan untuk hal-hal produktif, kenaikan PPN bakal menambah beban masyarakat kelas menengah sehingga berpotensi menurunkan daya beli.
Padahal, kelas menengah selama ini dianggap sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Penurunan kelas menengah berarti penurunan dalam daya beli dan konsumsi sehingga dapat memperlambah pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebagai jalan tengah, menurut Fithra pemerintah bisa melakukan beberapa kebijakan yang pro terhadap kelompok kelas menengah. Mulai dari upaya jangka pendek hingga jangka panjang.
“Menurut data BPS pengeluaran terbesar kelompok kelas menengah salah satunya adalah pajak. Untuk itu, sebaiknya PPN ini ditunda dulu sampai jumlah middle class 25 persen baru dinaikkan,” tutur Fithra.
Untuk jangka panjang, pemerintah juga bisa membuka lapangan pekerjaan sektor formal sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, penyerapan tenaga kerja bisa lebih banyak.
Fithra mengharapkan pemerintah lebih memperhatikan kelompok kelas menengah yang sekarang ini terus tergerus, karena di satu sisi kelompok ini tertekan perekonomiannya namun di sisi lain tidak termasuk golongan yang layak mendapat bantuan sosial seperti kelompok miskin.
“Kelompok kelas menengah ini tidak membutuhkan bansos, tapi lapangan pekerjaan yang layak sehingga bisa memiliki income lebih baik. Perlu ada kebijakan struktural untuk keluar dari jebakan ini. Jika tidak, situasi ekonomi bisa semakin parah,” pungkasnya.