JAKARTA – Skema subsidi Kereta Rel Listrik (KRL) menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) dianggap tidak masuk akal. Ini bukan pertama kalinya pemerintah mewacanakan agar tiket KRL tidak bersifat tunggal alias berbeda-beda tergantung penghasilan penumpang.
Aditya Dwi Laksana dari Masyarakat Transportasi Indonesia menuturkan pemerintah seharusnya memberikan insentif kepada masyarakat agar mau meninggalkan kendaraan pribadi, salah satunya dengan menyediakan angkutan umum yang aman, nyaman, dan terpadu moda, namun tetap terjangkau.
Rencana menerapkan tiket KRL berbasis NIK selain menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, juga diprediksi mengganggu rencana induk pengguna angkutan umum di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menjadi 60 persen pergerakan di tahun 2030.
Sebelumnya, perbincangan soal tarif KRL juga sempat ramai di media sosial pada 2022, ketika Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan tahun 2023 tarif kereta listrik Jabodetabek akan ada penyesuaian bagi masyarakat berpenghasilan tinggi.
Saat itu pemerintah mewacanakan skema pembayaran bakal dipisah antara penumpang yang mampu dan kurang mampu melalui tiket kartu. Meski begitu dia tidak merinci seperti apa skema itu akan diberlakukan.
Nota RAPBN Timbulkan Kebingungan
Sejak terungkapnya dokumen Buku Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025, riuh penolakan terhadap rencana penerapan tiket KRL berbasis NIK menimbulkan penolakan di mana-mana.
Dalam dokumen yang diserahkan pemerintah kepada DPR untuk dibahas bersama itu tercantum beberapa perbaikan yang akan dilakukan untuk skema Public Service Obligation (PSO) Kereta Api.
Salah satu perbaikan yang dimaksud adalah sistem tiket elektronik KRL Jabodetabek, yang disebutkan “perbaikan akan dilakukan dengan menggunakan tiket elektronik berbasis NIK bagi pengguna KRL”.
Juru bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Adita Irawati mengatakan, tujuan penerapan skema tersebut agar subsidi yang diberikan lebih tepat sasaran. Meski begitu, Adita menegaskan “belum ada keputusan final terkait perubahan skema subsidi KRL dari PSO menjadi berbasis NIK”.
Namun isu terkait rencana sistem tiket KRL berbasis NIK ini terlanjur menjadi sorotan warganet. Dalam beberapa hari terakhir, kabar ini ramai diperbincangkan di berbagai platform media sosial. Mayoritas komentar tidak setuju terhadap wacana perbedaan tarif. Karena, transportasi umum seharusnya terbuka untuk siapa pun serta mudah diakses oleh masyarakat luas tanpa memandang kelas ekonomi.
Skema baru penetapan tarif kereta komuter berbasis NIK membuat pengguna KRL Jabodetabek resah. Mereka khawatir hal ini bisa memicu pertengkaran sesama penumpang lainnya.
Aditya Dwi Laksana dari MTI juga termasuk yang menyuarakan keresahannya terkait wacana penetapan tarif KRL berbasis NIK. Ia mengaku bingung dengan rencana pemerintah tersebut.
Aditya menjelaskan, bila melihat pada nota RAPBN 2025 hanya disebutkan penerapan tiket elektronik berbasis NIK untuk pengguna transportasi KRL Jabodetabek, sehingga masih belum gamblang apakah arahnya adalah ke penghapusan subsidi KRL dan subsidi hanya diberikan untuk sekelompok pengguna tertentu berdasarkan NIK, sehingga tarif berpotensi naik, ataukah hanya pemberian subsidi tambahan kepada pengguna yang memenuhi kriteria berdasarkan NIK.
“Namun bila arahnya adalah penghapusan atau pengurangan signifikan subsidi, dan penyesuaian tarif, maka pada dasarnya kebijakan berbasis NIK ini diperuntukkan agar subsidi angkutan umum lebih tepat sasaran, diperuntukkan bagi kelompok masyarakat tertentu, yang benar-benar membutuhkan dukungan untuk bisa menggunakan angkutan umum,” kata Aditya saat dihubungi VOI.
Meski demikian, Aditya menegaskan pemerintah perlu melihat problem KRL Jabodetabek ini lebih luas. Menurut catatan Aditya, persentase pengguna angkutan umum di Jabodetabek sekarang ini masih rendah, yaitu hanya 15 persen. Padahal, target sesuai rencana induk transportasi Jabodetabek adalah 60 persen pengguna angkutan umum di tahun 2030.
Subsidi Berpotensi Tidak Tepat Sasaran
Seharusnya, pemerintah tetap melakukan upaya-upaya untuk mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum dengan cara meningkatkan kualitas dan kapasitas angkutan umum, serta menyediakan tarif yang terjangkau.
“Saat ini, masyarakat seharusnya malahan diberikan insentif menggunakan angkutan umum, agar mereka meninggalkan kendaraan pribadi, dengan salah satunya, menyediakan angkutan umum yang aman, nyaman, dan terpadu moda, tetapi terjangkau,” Aditya memberikan penjelasan.
Ia berharap subsidi tetap harus diberikan kepada seluruh pengguna angkutan umum meski kenaikan tarif adalah sebuah keniscayaan. Subsidi tetap dibutuhkan seluruh pengguna angkutan umum agar kenaikannya masih wajar. Sedangkan untuk kelompok masyarakat tertentu yang membutuhkan, tetap diberikan dukungan insentif untuk bisa tetap menggunakan angkutan umum (KRL) dengan kenaikan tarif yang terjadi melalu skema subsidi tepat sasaran.
“Jadi tidak dengan menghapuskan subsidi dan hanya yang ber-NIK yang memenuhi kriteria yang bisa mendapatkan tarif subsidi,” ucapnya.
Aditya memahami kemarahan masyarakat terkait wacana penerapan harga tiket KRL sesuai NIK. Karena saat ini kapasitas angkut KRL sedang mengalami penurunan yang diakibatkan faktor usia, sedangkan perbaikan serta peremajaan juga masih membutuhkan waktu dan beberapa stasiun masih dalam revitalisasi sehingga proses perpindahan moda belum optimal.
Selain itu, Aditya juga menekankan hal lain yang perlu dipersiapkan adalah basis data untuk menentukan NIK mana yang memenuhi kriteria untuk mendapatkan subsidi.
“Tentu ini perlu proses persiapan yang matang dan lintas sektoral, serta kriterianya harus jelas, datanya harus akurat, dengan proses verifikasi yang komprehensif,” sambungnya.
Pengamat transportasi sekaligus Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang juga mengaku heran dengan latar belakang pemerintah menerapkan skema penetapan tarif KRL Jabodetabek berdasarkan NIK.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa data masyarakat miskin di Indonesia berantakan dan rentan salah sasaran. Tak hanya itu, menurut Deddy pemerintah juga pilih kasih memberikan subsidi.
Ia merujuk pada Dokumen Buku Nota Keuangan RAPBN 2025 yang menyebutkan anggaran subsidi untuk kendaraan listrik termasuk sepeda motor, mobil, dan bus akan mencapai Rp9,2 triliun pada 2024. Sementara itu, untuk PSO hanya Rp7,9 triliun.
BACA JUGA:
“Ini kan aneh seharusnya subsidi untuk angkutan massal lebih banyak,” cetus Aditya.
“[Pembeli mobil listrik] itu kan jelas orang mampu, sudah bikin macet, enggak bayar pajak setahun, potensi kecelakaan ada. Kan enggak adil bagi pengguna transportasi publik," kata dia menyudahi.