Bagikan:

JAKARTA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendeteksi gempa 5,8 magnitudo mengguncang Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (26/8/2024) malam. Gempa yang berjarak 95 km dari arah barat daya Gunung Kidul ini terjadi di tengah riuhnya publik mengenai gempa megathrust.  

Bencana alam gempa megathrust memang menjadi perbincangan belakangan ini, setelah BMKG menyebut gempa dahsyat di Indonesia hanya tinggal menunggu waktu.

Hal ini diungkapkan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono ketika menyinggung kekhawatiran ilmuwan Indonesia mengenai seismic gap megathrust Selat Sunda dan megathrust Mentawai-Siberut.

Seismic gap artinya kekosongan aktivitas seismik dalam waktu yang sangat lama, umumnya 30 tahun lebih, sehingga menyimpan energi cukup besar.

Grafis gempa megathrust, gempa dahsyat yang berpotensi terjadi di Indonesia. (Antara)

Seismic gap Selat Sunda adalah 267 tahun dan Mentawai-Siberut 227 tahun, sementara segmen lain telah mengalami gempa bumi. Tugas saya adalah mengingatkan," ucap Daryono.

BMKG memperkirakan, Megathrust Selat Sunda bisa memicu gempa dahsyat dengan kekuatan maksimal M 8,7 dan Megathrust Mentawai-Siberut M 8,9.

“Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata 'tinggal menunggu waktu' karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” ujar Daryono dalam keterangan resminya, Minggu (11/8/2024).

Kekhawatiran para ilmuwan Indonesia mengenai gempa besar muncul setelah kejadian gempa dengan magnitudo 7,1 di Megathrust Nankai, di Selatan Jepang pada 8 Agustus lalu.

Negara dengan Gempa Bumi Terbanyak

Gempa merupakan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Dari 1907 hingga Agustus 2016, Pusat Studi Gempa Nasiona (PuSGeN) mencatat lebih dari 51 ribu gempa telah terjadi di Indonesia dengan magnitudo di atas 4,5. Pada 2023. Indonesia tercatat sebagai negara dengan gempa bumi terbanyak (2.205 kejadian).

Alasan mengapa Indonesia sering terjadi gempa karena posisi Indonesa terletak di sepanjang jalur seismic bergejolak yang disebut cincin api Pasifik, seperti dilansir gov.uk.

Inilah yang menjadi alasan mengapa gempa bumi hingga letusan gunung berapi terjadi secara teratur, yang dapat menghadirkan potensi tsunami. Indonesia dikelilingi oleh empat lempeng utama, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Laut Filipina, dan Lempeng Pasifik.

Di saat lempeng-lempeng ini saling dorong, tarik, atau geser, maka terjadi guncangan yang disebut gempa bumi. Fenomena ini juga seringkali meningkatkan aktivitas vulkanik yang berujung pada letusan gunung berapi.

Salah satu sumber gempa yang telah jelas teridentifikasi adalah zona subduksi aktif (tempat di mana satu lempeng tektonik, menujam ke bawah lempeng lainnya), yang terbesar di bagian barat hingga timur Indonesia, sebagaimana ditulis di buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017.

Seismograf mencatat kekuatan gempa bumi. (ANTARA/HO)

“Selain itu, sisa energi dari proses tumbukan antarlempeng tersebut akan menyebabkan adanya sesar di daratan atau lautan di beberapa pulau dan laut Indonesia,” tulis buku tersebut.

Sementara itu, mengenai gempa megathrust yang belakangan ini menjadi sorotan, biasanya terjadi di dasar laut, dan di sepanjang zona subduksi ini. Tekanan akibat pergerakan lempeng yang menumpuk selama ratusan tahun, kemudian dapat dilepaskan tiba-tiba dalam bentuk gempa bumi yang dahsyat.

Atakan (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “On the Origin of Mega-thrust Earthquakes” menuturkan, gempa bumi besar biasanya terjadi di sepanjang zona subduksi dengan magnitudo umumnya 8,5 atau lebih besar.

Beberapa negara di dunia pernah merasakan gempa dahsyat, di antaranya Chili dengan magnitudo 9,5 pada 1960, Indonesia pada 2004 (9,2 M), Chili 2010 (8,8 M), dan Jepang 2011 (9,1).

“Semuanya memicu tsunami dahsyat dan menimbulkan bahaya besar bagi masyarakat,” jelasnya.

Tak Ada Prediksi Akurat

Pernyataan Daryono yang menyebut bahwa gempa megathrust di Indonesia hanya tinggal menunggu waktu sempat memicu kehebohan warganet. Maklum, seperti yang disinggung sebelumnya, Indonesia termasuk negara rawan gempa karena dikelilingi cincin api.

Belum lagi kenangan buruk tsunami Aceh 2004, gempa bumi Yogyakarta 2006, gempa bumi dan tsunami Sulawesi 2018 masih membekas di benak Masyarakat.  

Di Tengah kekhawatiran masyarakat, pihak BMKG mengatakan, pembahasan potensi gempa megathrust bukan sebagai bentuk peringatan dini, yang seolah-olah akan terjadi dalam waktu dekat.

“Dikatakan ‘tinggal menunggu waktu’ karena memang segmen-segmen sumber gempa di sekitarnya sudah rilis gempa besar semua, sementara Selat Sunda dan Mentawai-Siberut hingga saat ini belum terjadi,” jelas Daryono.

Sejumlah warga di Gamping Kidul, Kabupaten Sleman, D.I Yogyakarta keluar rumah saat merasakan guncangan gempa pada Senin (26/8) malam. (ANTARA/Luqman Hakim)

Faktanya, Daryono menegaskan sampai saat ini belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dengat tepat dan akurat mampu memprediksi terjadinya gempa, baik itu kapan, di mana, dan berapa kekuatannya.

“Sehingga, kita semua juga tidak tahu kapan gempa akan terjadi, sekalipun tahu potensinya,” lanjutnya, dikutip dari laman BMKG.

Pernyataan Daryono sejalan dengan penelitian Funiciello dan teman-teman [2020], yang menyatakan gempa bumi megathrust subduksi besar adalah gempa bumi yang menunjukkan pola kompleks.

“Apakah gempa bumi dapat diprediksi atau tidak, dapat dijawab dengan harapan di masa mendatang,” tulisnya.

Meski demikian, berkat kemajuan teknologi dan metode analisis data, para ilmuwan semakin dekat mengungkap perilaku kompleks gempa ini. Para peneliti juga menyarankan pentingnya mendeteksi sinyal awal dengan memantau deformasi permukaan dan aktivitas seismik.

Senada dengan Daryono, Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa menyatakan tidak ada waktu pasti soal kapan gempa megathrust terjadi di Indonesia. 

"Jika ada informasi tentang tanggal, bulan, dan tahun kapan gempa akan terjadi maka bisa dipastikan itu hoaks, tapi kalau peristiwa Megathrust memang benar ada. Bisa terjadi, kapan? Mau lima menit lagi, 100 tahun lagi, itu bisa terjadi," kata Nuraini, mengutip Antara.