Bagikan:

JAKARTA – Menelan dua kekalahan di dua kontestasi secara beruntun di tahun yang sama sudah seharusnya membuat Anies Baswedan memikirkan ulang karier politiknya di Indonesia. Sejumlah pengamat menilai sudah saatnya eks Gubernur Jakarta ini memakai jaket partai jika tidak mau terus-terusan diabaikan.

Keputusan PDI Perjuangan (PDIP) mengusung kadernya sendiri, Pramono Anung dan Rano Karno, untuk bertarung di Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta 2024 menjadi pukulan telak bagi Anies Baswedan.

Bagaimana tidak, Anies seperti kalah sebelum bertanding karena tak ada satu pun partai yang mau memberikan restu kepadanya meramaikan kontestasi Pilkada Jakarta 2024.

Partai NasDem, PKS, dan PKB kompak balik kanan tidak mengusung Menteri Pendidikan 2014-2016 ini. Mereka tergiur bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk mengusung pasangan Ridwan Kamil-Suswono. Dengan tambahan tiga partai tersebut, koalisi gemuk itu berubah sedikit menjadi KIM Plus.

Anies Baswedan menyapa wartawan saat mengunjungi kantor DPD PDIP Jakarta di Cakung, Jakarta Timur, Sabtu (24/8/2024). (ANTARA/Fakhri Hermansyah/aww/aa)

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan situasi yang dialami Anies saat ini adalah konsekuensi dari tokoh yang bukan partai.

Menurut Ujang, sudah menjadi hal lumrah tokoh nonpartai dapat ditinggalkan oleh parpol sewaktu-waktu karena lebih mengutamakan kader.

Tak Mendapat Efek Ekor Jas

Padahal sebelumnya, kedekatan Anies dengan PDIP diramalkan bisa menjadi salah satu cara menjegal Ridwan Kamil-Suswono di Jakarta. Tapi apa mau dikata, PDIP juga rupanya enggan mengusung Anies.

Salah satu dugaannya adalah karena Anies masih bersikeras pada pendiriannya sebagai calon independen, menolak embel-embel kader partai sebagaimana tantangan Megawati Soekarnoputri beberapa waktu lalu.

Elektabilitas Anies yang tinggi rupanya tak cukup menjadi modal untuk menggaet partai mengusungnya di Pilkada Jakarta.

Andriadi Achmad selaku Direktur Eksekutif PolCom SRC (Political Communication Studies and Research Centre) menjelaskan Anies Baswedan tak mampu memberikan efek ekor jas atau coat-tail effect yang diharapkan partai-partai yang pernah mengusungnya.

Efek ekor jas adalah istilah yang digunakan dalam politik untuk menggambarkan dampak dari suatu kebijakan atau keputusan yang berdampak tidak hanya pada target langsung dari kebijakan tersebut, tetapi juga pada kelompok atau area lain yang terkait.

Kantor KPU DKI dihiasi ornamen Betawi selama pendaftaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI, Jakarta, Selasa (27/8/2024). (ANTARA/Luthfia Miranda Putri/am)

Dalam konteks pemilu, istilah ini mengacu pada bagaimana keputusan pemilih pada satu posisi pemilihan dapat memengaruhi hasil dari posisi pemilihan lainnya.

Dituturkan Andriadi, dalam pertarungan politik pasti ada pertimbangan untung rugi dalam memutuskan dukungan, baik dalam pilpres maupun pilkada. Anies Baswedan, dengan segala popularitasnya, ternyata disebut tidak memberikan keuntungan kepada partai pengusung, setidaknya itu yang terjadi di Pilpres 2024.

“Efek ekor jas yang diharapkan dari kandidat tidak bisa disepelekan. Belajar dari pilpres lalu, tidak jelas siapa yang mendapatkan keuntungan efek ekor jas dari pencalonan Anies Baswedan,” jelas Andriadi kepada VOI.

“Karena, tidak jelas posisi Anies Baswedan sebagai kader parpol mana. Nasdem dan PKS sepertinya tidak terlalu diuntungkan dalam pencalonan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024. PKB cukup mendapat efek ekor jas dari kehadiran Cak Imin sebagai Cawapres 2024,” ia menambahkan.

Berkaca dari pengalaman pilpres lalu, parpol-parpol seperti PKS, PKB ataupun Nasdem berpikir ulang untuk memajukan kembali Anies Baswedan dalam Pilkada Jakarta 2024.

Sementara mereka juga disodorkan opsi lebih realistis, yaitu bergabung dengan KIM di pemerintahan yang lebih menarik, terutama untuk PKS yang langsung mendapat jatah cawagub lewat Suswono.

Idealisme Anies 

Sejak terjun ke dunia politik, Anies Baswedan tetap pada pendiriannya tidak bergabung dengan parpol mana pun. Di satu sisi, Anies dianggap tidak mau disetir parpol karena lebih mengedepankan kepentingan rakyat.

Namun di sisi lain, sikap Anies justru dipandang sebagai jalan ‘cari aman’ untuk bisa berpindah partai pengusung dengan mudah, karena ia tidak terikat dengan parpol mana pun.

Saat maju di Pilkada Jakarta 2017 dan Pilpres 2024, eks Menteri Pendidikan ini menjadi satu-satunya tokoh yang independen alias bukan dari kalangan partai.

Melihat apa yang dialami Anies pada pilkada tahun ini, Andriadi Achmad menyebut sudah saatnya mantan Gubernur Jakarta ini tergabung dalam parpol.

Andriadi mencotohkan bagaimana founding fathers atau bapak bangsa di Indonesia tergabung dalam parpol, seperti Soekarno (PNI), Sutan Sjahrir (PSI), Muhammad Natsir (Masyumi) dan lainnya.

Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar bersama Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh ketika deklarasi bakal capres-cawapres dalam Pilpres 2024 di Hotel Majapahit, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (2/9/2023).(Facebook Anies Baswedan)

Di era reformasi, ada nama lain seperti Gus Dur (PKB), Amien Rais (PAN/Partai Ummat), Yusril Ihza Mahendra (PBB), Wiranto (Hanura), Jusuf Kalla (Golkar), Megawati (PDI-P), Prabowo Subianto (Gerindra), Jokowi (PDI-P), Hidayat Nurwahid (PKS) dan tokoh-tokoh lainya.

Melihat deretan tokoh bangsa yang terikat dengan partai, dikatakan Andriadi, tidak ada salahnya bagi Anies Baswedan menjadi kader parpol.

“Bahkan berbicara dalam konteks demokrasi global, sepertinya tidak ada pemimpin politik (presiden atau gubernur) yang bukan dari parpol. Contohnya seperti Barack Obama (Partai Demokrat), Donald Trump (Partai Republik) dan negara-negara lainnya,” jelas Dosen FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia ini.

“Artinya kepemimpinan politik mesti lahir dari kader politik, sebagaimana salah satu tujuan parpol adalah menyiapkan kepemimpinan baik level daerah maupun negara,” tambahnya.