JAKARTA – Raja Jawa menjadi perhatian khalayak setelah Bahlil Lahadalia menyebut istilah tersebut saat berpidato menyampaikan visi misinya pada Musyawarah Nasional XI Partai Golkar di Jakarta Convention Center, Rabu (21/8/2024). Tidak jelas siapa yang dimaksud Bahlil saat itu, namun hampir semua orang meyakini Raja Jawa ini merujuk pada satu nama.
Bahlil pun meminta kader Golkar jangan sampai berani bermain-main dengan sosok yang ia sebut Raja Jawa, karena bisa membawa celaka.
“Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu saja jangan coba-coba main dengan barang ini. Waduh ngeri-ngeri sedap barang ini,” kata Bahlil.
Ucapan Bahlil mengenai Raja Jawa sontak menyita atensi masyarakat. Namun Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X enggan menanggapi pernyataan Bahlil, yang baru saja menjabat sebagai Ketum Golkar seusai terpilih secara aklamasi.
“Urusannya apa (soal pidato Raja Jawa)? Tidak tahu saya soal pidato itu,” tandas Sultan di sela Rapat Koordinasi Kesiapan Penyelenggaraan Pilkada 2024 Wilayah Jawa di Yogyakarta.
Menimbulkan Spekulasi
Pernyataan Bahlil kala itu langsung memicu spekulasi di berbagai kalangan. Walau ia tidak secara gamblang menyebut siapa yang dimaksud dengan Raja Jawa, namun banyak kalangan mengaitkan istilah ini dengan keluarga Presiden Joko Widodo.
Menjelang berakhirnya masa bakti Jokowi setelah dua periode memimpin Indonesia, mantan Wali Kota Solo ini dituding melakukan berbagai upaya untuk melanggengkan kekuasaannya melalui kedua putranya. Jokowi diklaim tengah membangun dinasti politik di pengujung kepemimpinannya.
Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, baru saja terpilih sebagai wakil presiden setelah memenangi Pilpres 2024. Sementara Kaesang Pangarep sempat digadang-gadang maju dalam pemilihan kepala daerah, sebelum niat tersebut terhalang oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia calon kepala daerah.
Lalu, apa maksud Bahlil melontarkan frasa Raja Jawa di tengah dinamika politik Indonesia yang kembali bergejolak menjelang Pilkada 2024?
Andriadi Achmad, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia menuturkan, ada beberapa analisis yang bisa ditelaah terkait Raja Jawa yang disampaikan Balil Lahadalia dalam Munas Partai Golkar.
Analisa pertama, menurut Andriadi, kerajaan identik dengan dinasti dalam kekuasaan, di mana yang akan menjadi Raja atau Ratu pada generasi berikutnya adalah keturunan Raja.
“Kedua, kerajaan Jawa sangat kuat di masa lalu seperti kerajaan Majapahit, dan sampai saat ini masih di akui kesultanan Yogyakarta (Sultan Hamengkubuwono) dan kesultanan Surakarta (Pakubuwono),” katanya kepada VOI.
“Ketiga, absolutisme dalam pemerintahan. Apapun titah raja tidak ada satupun yang boleh membantah. Titah raja selalu benar dan wajib dilaksanakan,” ia menambahkan.
BACA JUGA:
Dari ketiga analisa yang disebutkan, Andriadi menegaskan bahwa sistem kerajaan berbeda dengan sistem demokrasi yang dianut saat ini di Indonesia. Mengenai Raja Jawa yang sangat kuat, ia menduga ungkapan ini ditujukan kepada Jokowi yang belakangan kerap dituding membentuk dinasti politik.
“Oleh karena itu, pernyataan Bahlil tersebut antara menyinggung atau menyanjung seseorang pemimpin berperilaku bagaikan seorang raja. Semua kita sudah membaca siapa yang dimaksud Raja Jawa adalah Jokowi,” tegasnya.
Sebuah Penghambaan
Sementara itu, Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Koentjoro mempertanyakan alasan Bahlil menyebut Raja Jawa dalam Munas Partai Golkar, karena menurutnya negara Indonesia tidak dipimpin oleh raja.
Dengan menyebutkan Raja Jawa di hadapan khalayak, Koentjoro menilai ini menjadi sebuah pengakuan bahwa ada dinasti dalam negara tersebut.
“Apakah ini ada dinasti sehingga raja, anak, dan menantunya menjabat sebagai bupati dan lain sebagainya? Apakah ini bukan suatu pengaruh kuat?” ujarnya.
Mengingat Indonesia adalah negara demokrasi, dengan penyebutan raja terhadap seorang figur atau sosok, dapat diartikan ada penghambaan dari satu pihak ke pihak lain yang disebut raja tersebut.
“Jika seseorang yang bukan raja, lalu diangkat sebagai raja berarti ada penghambaan seseorang kepada yang disebut raja tersebut. Padahal, sudah jelas, ini (Indonesia) negara demokrasi, bukan kerajaan,” Koentjoro menjelaskan.
Sedangkan menurut analis politik Adi Prayitno, penyebutan Raja Jawa merupakan bentuk penegasan dari Bahlil bahwa Golkar merupakan partai yang menjadi bagian dari kekuasaan, sehingga tidak bermanuver seperti musuh dalam selimut.
"Jadi jangan pernah ada pikiran atau manuver gimana Golkar berseberangan dengan pemerintah karena itu berbahaya," ucap Adi.
Selain itu, Bahlil Lahadalia juga ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah orang kepercayaan Raja Jawa. Namun, Adi menyayangkan hal ini, yang menurut Bahlil hanya candaan politik, diucapkan di sebuah forum terbuka sehingga terkesan menjadi peringatan untuk masyarakat juga.